Kamis, April 25

Rumi dan Kelahiran Kedua

Lukisan Farshician tentang Pertemuan Rumi dan Shams Tabrizi

Setelah kepergian sang ayah dan gurunya, selama lima tahun Rumi melanjutkan tradisi mengajar ilmu-ilmu keislaman, seperti: fiqih dan tasawuf yang masih bercorak zahid. Setiap hari banyak pelajar agama yang datang mengelilingi majlis Rumi untuk mendengarkan petuah keagamaan. Bahkan, tidak sedikit mereka yang datang untuk meminta fatwa darinya. Saat itu Rumi dikenal sebagai guru agama, sampai akhirnya Shams Tabrizi datang dalam kehidupannya. (Esfandiar: hal 42-43). 

Catatan sejarah menuliskan, Shams Tabrizi yang memiliki nama lengkap Shamsoddin Mohammad bin Ali bin Malakdad, memasuki kota Konya pada tanggal 26 Jumadil Akhir tahun 642 hijriah atau bertepatan dengan 30 November 1244. Sebuah tonggak sejarah yang sangat penting. Pertemuan Rumi dengan Shams Tabrizi membawa perubahan besar dalam diri Rumi, sampai ia sendiri menyebutnya sebagai kelahiran kedua pada ghazal 1409 Divan-e Shams, “Kelahiran pertama telah memberiku nafas kehidupan. Aku bahagia mengalami kelahiran kedua yang menganugrahiku cinta”.

Ada banyak kisah yang menggambarkan perjumpaan awal antara Rumi dan Shams Tabrizi. Tapi penuturan Aflaki dalam Manaqib Arifin lebih banyak dikutip oleh sejarawan dan para peneliti Rumi. Kisah bermula dari pertanyaan Shams Tabrizi kepada Rumi: “Apakah Nabi Muhammad SAW lebih akbar (utama) daripada Bayazid?”

Rumi segera menjawab: “Pertanyaan macam apa ini. Tentu saja Nabi Muhammad Saw lebih utama yang tak bisa dibandingkan dengan Bayazid”. Tapi Shams kembali mengajukan pertanyaan menohok, “Jika demikian, mengapa Nabi Muhammad Saw bersabda: ماعرفناک حق معرفتک. Sedangkan Bayazid berkata: سبحانی ما اعظم شانی”. (Forouzanfar: 86-87). Tentu saja, setelah itu ada banyak percakapan lagi yang membuat kekaguman Rumi pada sosok Shams Tabrizi. 

Barangkali banyak yang masih bertanya mengenai hubungan antara Rumi dan Shams Tabrizi, apakah serupa murid dan mursyid? Forouzanfar dengan mengutip Riwayat dari Sultan Walad, salah seorang putra Rumi, memberikan gambaran yang menarik. Kecintaan Rumi kepada Shams seperti pencarian Nabi Musa as kepada Nabi Khidir as. Meskipun Nabi Musa adalah seorang Nabi dan mendapat gelar Kalimullah, tetap mencari para kekasih Tuhan yang dapat mengantarnya pada tingkatan spiritualitas yang lebih tinggi. (Forouzanfar: 92)

Inilah periode paling mengesankan dalam perjalanan hidup Rumi. Ribuan syair mengalir memenuhi hari-hari indahnya. “Aku yang mati kembali hidup, aku yang menangis kembali tertawa. Kafilah cinta datang dan aku tenggelam dalam BahagiaJiwaku tak lagi pengecut, tak lagi dahagaSeperti singa akau berani, serupa venus aku benderang” (Ghazal 1393, Divan-e Kabir).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *