Selasa, September 17

Perempuan dalam Lingkaran Rumi

Awal Oktober 2018, saya mengikuti acara diskusi buku yang mengupas karya-karya terbaru tentang Rumi di sentra book city, Tehran. Tampil menjadi salah seorang narasumber, Azam Naderi, penulis perempuan yang juga pemerhati karya Rumi. Ia menanggapi secara kritis buku-buku mengenai Rumi yang lebih banyak menggunakan perspektif maskulin. Kehadiran para perempuan dalam lingkaran Rumi nyaris tak terdengar. Kalaupun ada, hanya sebatas pelengkap cerita, kiprahnya tak dihadirkan secara utuh.

Setahun kemudian, saya menemukan buku berjudul “Kehadiran Perempuan dalam Literatur Tasawuf” yang sedikit banyak menjawab kegelisahan di atas. Buku yang ditulis oleh Zahra Thahiri dari hasil disertasinya ini menjadi salah satu karya yang menghembuskan angin segar bagi para pengkaji masalah perempuan. Thahiri membagi risetnya ke dalam beberapa fase, dari permulaan Islam sampai abad ke 18, termasuk juga era tasawuf Rumi.

Salah satu sumber primer yang digunakan Thahiri adalah Manaqib Arifin karya Aflaki, kitab yang selalu menjadi rujukan utama bagi para peneliti kehidupan Rumi dan orang-orang terdekatnya. Tokoh lain yang banyak dikutip adalah Abdulbaki Golpinarli (1900-1982), seorang pemikir Turki yang mendalami kajian Rumi dan menerjemahkan seluruh karya Rumi ke dalam bahasa Turki.

Banyak hal dari hasil penelitian Zahra Thahiri ini yang cukup mengejutkan, setidaknya jarang saya temui di buku-buku Rumi lainnya. Ia berangkat dari penjelasan, bagaimana peran besar ayah Rumi, seorang sufi besar yang bernama Bahauddin Walad, dalam membentuk pemikiran Rumi, termasuk persoalan perempuan.

Thahiri sampai pada kesimpulan, masa Rumi, merupakan puncak keemasaan kehadiran perempuan dalam sebuah tarikat sufi. Mereka tidak hanya bisa mencapai makam khalifah (wakil dari seorang mursyid), tapi juga bisa menjadi mursyid dan mendirikan khanqah.

Dalam pandangan Bahauddin Walad, perempuan memiliki kedudukan mulia. Ia membawakan tamsil pengalaman spiritualnya dengan istilah sangat feminin. “Duhai Tuhan, Engkau laksana Arosh (pengantin perempuan) dan kecintaanmu laksana Zulaikha”. Menurut Bahauddin, kekuatan penciptaan Tuhan sebagaimana kekuatan melahirkan seorang perempuan. Tuhan adalah Ibu yang mengabulkan seluruh permintaan ‘anak-anak’ yang diciptakannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *