Jumat, Oktober 4

Mari Jangan Mudah Menghakimi

Lukisan Farshician tentang Adalat atau Keadilan

Apa yang membuat Bilal bin Rabah terpilih menjadi muadzin Nabi? Suaranya yang indah kah? Atau bacaannya yang fasih? Bagaimana kalau bukan keduanya?

Rumi dalam Kitab Matsnawi Maknawi Jilid 3, mengisahkannya untuk kita. Bilal bin Rabah, seorang sahabat kesayangan Nabi yang bukan berasal dari keturunan Arab, sehingga memiliki kendala melafalkan beberapa huruf hijaiyah. Rumi mencontohkan, Bilal mengucapkan huruf “ح” dalam حیّ علی الصلاة  dengan “ه” menjadi هیّ علی الصلاة.

Ketika Nabi Muhammad SAW menunjuk Bilal sebagai muadzin, ada sekelompok orang ‘sok tahu’ yang protes kepada Rasul. “Wahai Nabi, kenapa Anda tidak memilih seorang muadzin yang lebih fasih dari Bilal? Ini kan kita sedang mulai menyebarkan Islam. Bacaan Bilal yang tidak fasih itu, bisa mencedrai citra Islam”.

Rumi melanjutkan lagi kisahnya. Baginda Nabi kecewa dengan sikap sebagian umat yang mengaku beragama, namun memiliki pandangan sangat picik. Dengan nada marah, beliau menegur:

کآی خسان، نزد خدا هی بلال

بهتر از صد حی و خی و قیل و قال

Hai orang yang merugi, bacaan هی Bilal di sisi Tuhan 

seratus kali lebih baik dari bacaan حی mereka yang merasa benar.

(Matsnawi, jilid 3, bait 177)

Foruozanfar, penyusun kitab Ahadits Matsnawi, menyebutkan cerita yang dibawakan Rumi ini terinspirasi dari salah satu hadits Nabi yang juga terdapat dalam kitab Al-Lulu wal Marjan: سین بلال عند الله شین (lafal س yang diucapkan Bilal seperti ش di sisi Tuhan). 

Ada beberapa catatan menarik yang dapat kita ambil dari kisah tersebut.

Pertama, Rumi mengingatkan kembali bahwa setiap perbuatan dan amal kita memiliki dua aspek, dzahir dan batin. Meskipun keduanya sama penting, tapi aspek batin menjadi kunci dan penentu kualitas sebuah amal. Aspek batin inilah yang memberikan tenaga dan energi cinta kepada amal yang dilakukan seseorang. Ketika baginda Nabi menyebutkan bacaan Bilal jauh lebih berharga, karena digerakkan oleh perasaan cinta dan makrifat yang kuat kepada Allah. 

Kedua, lewat cerita ini Rumi mengajak kita untuk lebih hati-hati dan tidak menilai seseorang hanya dari aspek lahiriah. Masih segar dalam ingatan saya, ketika orang-orang ramai membuli bacaan Alquran mereka yang tidak sesuai dengan qiraah pada umumnya. Saya pun tak pernah lupa bacaan ‘langgam jawa’ yang diadili semena-mena. Dalam ranah sosial, pesan Rumi untuk tidak mudah menilai dan mengahkimi perilaku seseorang sangat membantu dalam mewujudkan relasi sosial yang sehat. 

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *