Oleh: Dr. Dina Y. Sulaeman, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES)
Saya perlu menyatakan di awal, saya bukan ahli sastra, pun bukan penikmat sastra sejati. Saya lebih menikmati buku-buku politik dibanding puisi. Jadi ini adalah catatan ringan, apa yang terlintas di pikiran setelah membaca buku “Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik” karya Afifah Ahmad yang baru saja diterbitkan oleh penerbit Afkaruna.
Kutipan-kutipan kata-kata Rumi sangat dikenal publik. Saya juga kalau sedang ingin “gaya-gayaan,” menyelipkan sebait kata-kata Rumi dalam tulisan saya. Caranya sederhana, buka google, lalu ketik “Rumi quotation” dan keluarlah berbagai artikel semacam, “215 Rumi Quotes on Life, Love and Strength That Will Inspire You.”
Tapi kali ini sebuah buku tentang Rumi ada di tangan saya. Ada kebiasaan di Iran sana, disebut “Fal-e Hafez.” Di pinggir jalan, kadang ada orang yang membawa tumpukan kertas yang berisi potongan syair-syair Hafez-e Shirazi, penyair legendaris Persia. Nah, seorang yang sedang galau bisa mengambil secara acak satu kertas, lalu membayar uang seikhlasnya. Isi syair di kertas itu biasanya memberi jawaban atas kegalauan itu.
Saya pun iseng membuka secara acak halaman buku Ngaji Rumi ini. Kebetulan, kemarin saya sedang sangat galau dan kesal atas sesuatu hal. Ajaib, yang terbuka adalah halaman 99, ketika Afifah mengutip syair Rumi dalam Matsnawi jilid 3 bait 1899, “Tidak ada satu daun pun yang jatuh dari pohon tanpa seizin Sang Pencipta.” Afifah menjelaskan bahwa Rumi melalui syairnya ini sedang menjelaskan konsep ketawakalan.
Saya pun langsung sadar diri. Semua usaha sudah saya lakukan sebaik mungkin. Selanjutnya adalah tawakal. Ketika ada masalah, ya terima sajalah. InsyaAllah nanti ketahuan hikmahnya apa.
Pengalaman ini membuat saya semakin bersemangat membaca buku Ngaji Rumi ini. Dan memang saya menemukan banyak sekali hal baru. Misalnya, saya baru tahu bahwa Rumi itu asli Persia (lha kemana aja selama ini Buk?) Maksud saya, bukankah Museum Rumi ada di Turki?
Ternyata, Rumi kelahiran Balkh (sebuah daerah di Afghanistan sekarang), yang merupakan bagian dari Khorasan Raya di bawah Imperium Persia, yang sejak dulu hingga kini masyarakatnya menggunakan bahasa Persia dialek Dari, Farsi-ye Dari. Jadi bahasa ibu Rumi adalah bahasa Persia, dan karena itulah Rumi menulis syairnya dalam bahasa Persia. Memang Balkh pernah berada di bawah Imperium Seljuk, cikal bakal Ottoman.
Ketika usianya 14 tahunan, Rumi bersama ayah, ibu, dan saudaranya, mengembara ke kota-kota lain. Ayah Rumi adalah seorang ulama dan guru sufi, Bahaudin Walad, yang juga menulis buku berjudul Ma’arif. Tujuan utama perjalanan keluarga Rumi adalah Mekah (untuk berhaji), tapi di perjalanan mereka mampir di berbagai kota. Usai haji, mereka tidak kembali ke Balkh, melainkan melewati Damaskus, lalu ke Anatolia dan kota-kota lain di Turki, sampai akhirnya menetap di Konya. Sekedar info, masa perpindahan ini memakan waktu empat tahun (1218-1228 M).
Di Konya, ayah Rumi mendirikan pusat pendidikan agama dan Rumi juga belajar dari ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Rumi belajar agama selama sembilan tahun dari ulama lainnya, lalu lanjut belajar agama lagi beberapa tahun di Aleppo dan Damaskus. Ya Allah, ini dua kota yang terasa sangat “dekat” dengan saya, karena selama 10 tahun terakhir saya banyak sekali menulis soal konflik Suriah.
Lanjutan biografi Rumi, silakan Anda baca sendiri di bukunya. Yang baru buat saya, ternyata Rumi itu penyair yang awalnya belajar agama dulu bertahun-tahun. Pantesan syair-syair Rumi (sependek pengetahuan saya, maklum cuma modal Google) kadang seolah parafrase dari ayat Quran atau hadis Nabi. Di buku Afifah juga ada sub-bab “Sastra Qur’ani dalam Syair-Syair Matsnawi.”
Buku ini terdiri dari enam bab: Konsep Cinta dan Manusia; Perempuan dan Kesetaraan; Etika Sosial, Toleransi dan Perdamaian; Beribadah dengan Bahagia; Rumi dan Karya-Karya yang Membersamainya; dan Album Puisi Rumi. Afifah dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami, menceritakan syair-syair Rumi yang diterjemahkannya langsung dari bahasa Persia, memberitahukan maknanya (dengan ber-sanad pada buku-buku terkemuka soal Rumi), kemudian menunjukkan relevansinya pada berbagai fenomena aktual. Prolog yang indah ditulis oleh Buya KH.Husein Muhammad dan epilognya ditulis oleh Prof. Esfandiar, yang sudah 25 tahun mengampu kelas sorogan Matsnavi-e Maknavi di Tehran, dan diikuti oleh Afifah selama enam tahunan.
Saya akhiri catatan singkat ini dengan mengutip syair Rumi (lagi-lagi dengan cara acak tadi, sambil memikirkan sebuah kegalauan, hahaha): Wahai Hud-hud, bicaralah kepada aneka burung dengan bahasa mereka masing-masing, agar pesanmu tersampaikan dengan baik.
Masya Allah. Sumber kegalauan saya memang soal “bicara.” Saya sedang memulai sebuah podcast di Youtube, “Serial Kajian Timur Tengah.” Ternyata, bikin podcast itu tak mudah Ferguso, karena saya lebih suka menulis daripada bicara.
Selamat atas buku indah ini, Afifah!
Resensi ini pernah dimuat di sini