Kamis, April 25

Resensi Ngaji Rumi: Upaya Membumikan Syair Rumi

Ngaji Rumi”, sangat jelas bahwa buku karya Afifah Ahmad ini menjadikan Jalaluddin Rumi sebagai objek bahasannya, mulai dari biografi hingga syair-syairnya. Tentu bukan hal mudah untuk bisa menerjemahkan bahkan menafsirkan syair-syair Rumi dari bahasa aslinya, Persia.

Pasalnya, tantangan terberat dari menerjemahkan karya sastra adalah sering kali sulit menemukan padanan kata yang sesuai dari bahasa aslinya. Terlebih, karya sastra penuh dengan kalimat metafora, yang kandungan maknanya bisa berarti banyak.

Tanpa harus menjadi ahli sastra, siapapun tak bisa menyangkal bahwa Rumi adalah sosok penyair sekaligus sufi legendaris. Meski sudah berlalu 8 abad lebih sejak masa hidupnya, ketenarannya justru makin meluas dan syairnya tak pernah habis untuk dikaji serta dikutip.

Coba saja, ketik nama ‘Rumi’ dalam mesin pencarian internet, maka akan dengan mudah kita temukan biografi dan kumpulan syair milik Rumi. Syair-syair yang indah juga kaya akan kandungan kebijakan.

Kembali ke buku “Ngaji Rumi”: buku ini bagi saya telah membuka perspektif yang segar mengenai kesusastraan sufistik, khususnya tentang Rumi.

Umumnya syair Rumi tampil dengan keindahan bahasa dan dialog yang intim. Tapi, dalam bukunya, Afifah justru mampu menjembatani pembacanya, dengan menarik bahasa Rumi yang melangit ke dalam konteks persoalan kontemporer.

Bahkan, tidak hanya mampu merefleksikan syair-syair Rumi dengan apik, Afifah juga mampu menarasikannya dengan bahasa yang ringan. Dan, ia menjadikan riset sebagai basis tulisannya, dengan kitab “Tafsir Matsnawi Ma’nawi” karya Rumi sebagai rujukan utama.

Dengan begitu, syair Rumi dalam buku tersebut menjadi menemukan titik relevansi dengan problematika kehidupan saat ini serta dapat dinikmati oleh banyak kalangan. Walaupun, sebagian penggemar puisi berpendapat bahwa syair Rumi lebih asyik dibiarkan apa adanya.

Memilih Kata ‘Ngaji

Unik memang, Afifah memilih kata ‘ngaji‘ pada judul bukunya, di mana kata tersebut identik dengan kegiatan belajar agama Islam. Mengapa ia lebih memilih kata tersebut, adalah karena proses belajar yang ditempuhnya dalam mempelajari syair-syair Rumi.

Afifah yang sejak 2015 sudah berada di Iran aktif mengikuti kelas-kelas tentang Rumi yang diajarkan melalui metode klasik sorogan ala pesantren, yakni dengan membaca dan mengurai tiap kata dan kalimat pada matan kitab.

Dapat dibayangkan, proses belajar ini tentunya tidaklah singkat. Itulah sebabnya, ‘ngaji‘ di sini ia maknai juga sebagai usaha dalam mengarungi kedalaman serta luasnya samudera syair-syair Rumi.

Enam Bagian dalam “Ngaji Rumi”

Buku “Ngaji Rumi” yang bertebal 223 halaman, terdiri dari enam bagian. Pertama, ulasan gagasan atau pandangan dunia Rumi terhadap konsep cinta dan manusia.

Kedua, bagaimana Rumi memaknai perempuan dan kesetaraan. Ketiga, menyoal etika sosial, toleransi, dan perdamaian, yang dikemas dalam tulisan reflektif atas isu-isu kontemporer.

Keempat, telaah aspek ritual ibadah dalam syair Rumi, seperti bagaimana pandangan Rumi tentang salat, puasa, haji, tawasul, dan yang lainnya. Kelima, adalah bagian mengenalkan kitab-kitab klasik karya Rumi, seperti Tafsir MatsnawiAhadits Matsnawi, dan sebagainya.

Dan, yang terakhir, keenam, Buku ini menyuguhkan album syair Rumi dalam bahasa aslinya, Persia, yang juga sudah diterjemahkan sebagai penutup.

Tampak jelas bahwa keenam bagian itu menyusun buku ini tidak hanya sarat dengan intelektual tetapi juga pengetahuan spiritual.

Dan, Afifah ialah tergolong dari sedikit penulis perempuan Indonesia yang tidak hanya gandrung dengan syair-syair Rumi, tetapi juga mampu menuliskan karya Rumi dengan begitu progresif dan menawan.

Tentunya, bermukim di Iran menjadi modal yang memberinya keleluasaan akses terhadap sumber primer dari para sarjana sastra Persia.

Walhasil, tidak berlebihan bila kemudian Etin Anwar, Professor Hobart and William Smith Colleges, New York, USA, mengatakan “Keindahan puisi-puisi karya Rumi di tangan penulis Afifah bukan hanya mudah untuk ditelaah, tetapi juga menantang pembaca untuk bertanya apakah kita telah memahami makna cinta.”

Buku Ngaji Rumi dapat dimaknai sebagai catatan perjalanan panjang Afifah dalam menemukan sisi syair Rumi yang inklusif dan membangun jiwa. Lebih dari itu, buku karya Afifah ini jelas layak diapresiasi karena mampu menuliskan sisi Rumi yang ringan untuk dibaca banyak kalangan. 

Resensi ini pernah dimuat di sini: https://barisan.co/upaya-membumikan-syair-rumi/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *