Sabtu, April 20

Tasawuf, Beragama dengan Jendela Estetika

Akhir tahun 2021 saya diminta untuk mengisi seminar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung tentang Sastra Sufistik. Waktu itu, saya hanya berfokus pada satu model, yaitu karya sastra sufistik Jalaluddin Rumi. Setelah selesai acara itu, saya mulai mengembangkan dan menyusuri lebih jauh literatur yang mengarah pada sastra sufistik. Saya kembali terpikat pada nama Mohammad-Reza Shafiei Kadkani, walaupun sebelumnya sedikit banyak sudah berkenalan dengan beberapa karyanya. 

Bagi saya, Shafiei Kadkani mewakili sosok yang selama ini saya cari sebagai referensi di ranah Sastra Sufistik. Ia sendiri dikenal sebagai sastrawan dan sampai sekarang masih mengajar di Univ Teheran. Namun masa remajanya ia habiskan untuk mempelajari kitab-kitab klasik keagamaan, dari ilmu-ilmu alat sampai tasawuf. Perpaduan pas antara seorang sarjana dan ahli agama. Shafiei Kadkani yang juga menulis banyak buku tentang kritik sastra dan kumpulan puisi ini pernah melakukan riset di Princeton University. Karena kepeduliannya pada isu-isu kemanusiaan dan perdamaian, ia mendapat penghargaan “Seni untuk Perdamaian”dari sebuah Lembaga Perdamaian Independen. 

Belakangan, ia banyak mendedikasikan waktunya untuk membedah kembali karya-karya tokoh sufi klasik seperti Athar Nishaburi, Bayazid Bastami, Abu Said Abul Khair, Ahmad Jami, Abul Hasan Kharaqani, dan banyak tokoh sufi lainnya. Ia memberikan sentuhan baru pada karya-karya tersebut. Karena ia meyakini, ajaran-ajaran tasawuf dapat memberikan nafas segar kembali di tengah tercerabutnya spiritualitas di satu sisi dan kejumudan beragama di sisi lainnya. Beberapa hari lalu, saya mulai mengoleksi buku-bukunya dalam sebuah app berbayar yang bekerjasama dengan berbagai penerbit. 

Ada pandangan Shafiei Kadkani yang cukup menarik di ranah sastra sufistik yang sering ia ulang dalam berbagai pengantar buku-bukunya. Menurutnya, tasawuf mengajak kita untuk melihat agama melalui jendela estetik dan keindahan. Lebih jauh, ia menunjukkan ilustrasi bagaimana persamaan kerja tasawuf dan seni. 

Pertama, Tasawuf dan seni sama-sama memberikan nafas kebaruan. Sebagaimana peran seni dalam sejarah yang memberikan warna kebaruan pada berbagai peristiwa masa lalu yang tampak usang, begitu juga tasawuf tidak membiarkan kita berhadapan dengan bentuk-bentuk pengulangan yang klise dengan cara menghadirkan rasa dalam beragama.

Setiap pengalaman beragama pada awalnya selalu terasa indah, namun dalam perjalananannya tidak jarang melahirkan kejenuhan dan pengulangan. Sehingga seringkali si pemeluknya kehilangan rasa dan makna. Jendela tasawuf inilah yang mampu menyegarkan dan memberikan warna baru terhadap sesuatu yang tampak menjenuhkan.

Kedua, Menurut Kadkani pengalaman sufistik itu sebagaimana pengalaman estetik yang sifatnya personal, tidak bisa ditransfer kepada yang lain, dan tidak dapat berulang dengan tingkat kepersisan yang sama. 

Misalnya, ada ribuan orang yang sedang memandang sebuah lukisan atau menonton konser musik, secara penampakan luar kita melihat semuanya tampak bahagia, namun sebenarnya setiap orang memiliki gradasi kebahagiaan dan pengaruh yang berbeda-beda ke dalam dirinya. Karena setiap orang memiliki kondisi batin yang tak sama. Bahkan, kondisi batin ini setiap saat juga mengalami perubahan, karena itulah pengalaman mengapresiasi sebuah karya pun tidak bisa berulang. 

Begitu juga pengalaman sufistik sangat personal. Gradasinya bergantung pada kapasitas individu dalam menangkap setiap ‘tanda-tanda’ Tuhan. Karena itu, biasanya seorang mursyid tidak akan memberikan ‘resep’ yang sama kepada para muridnya. 

Ketiga, Sebagaimana pengalaman berkesenian yang memiliki karakteristik tersendiri seperti “Imajinasi” “simbol” dan “keragaman makna”, begitu juga di ranah tasawuf dan irfan kita akan berhadapan dengan istilah dan kata kunci di atas. Karena itu, untuk memahami apa yang disampaikan para sufi baik yang terucap maupun yang tertulis diperlukan pisau analisis seperti hermeneutika, semiotika, dan ilmu kebahasaan lainnya. Sehingga kata-kata Syath seperti “Anal Hak”dari Alhallaj atau “Ma Azama Syani”dari Bayazid dapat dikaji lagi dengan lebih bijaksana. 

Intinya, pertemuan antara ranah sastra dan tasawuf ini dapat terus menerus menyegarkan pandangan laku keberagamaan kita.  

(Afifah Ahmad)