Alkisah, ada seorang perempuan yang setiap kali melahirkan, tidak berselang lama anaknya meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi berulang kali. Ia amat berduka dan menggugat kenyataan pahit hidupnya. Lalu ia mendatangi seorang bijak bestari dan mencurahkan segala keresahannya. Sampai suatu malam, perempuan ini bermimpi melihat sebuah taman yang begitu indah. Belum selesai ia mengaguminya, sebuah istana terlihat di depan matanya. Nama perempuan itu tertulis di atas pintu. Ia memasuki istana tersebut dan melihat anak-anaknya yang sudah meninggal sedang berkumpul di sana. Kesaksian ini membukakan pintu batinnya pada keagungan dan keluasan rahmat Tuhan.
Kisah yang dituturkan oleh Rumi dalam kitab Matsnawi Maknawi juz 3 bait 3399-3418 ini tentu tidak asing lagi dan dekat dengan keseharian kita. “Semoga menjadi tabungan di akhirat”, kata-kata itu biasa diucapkan kepada teman atau keluarga yang kehilangan anaknya.
Saya pribadi memiliki ikatan emosional kuat dengan cerita ini, terutama setelah dua kali mengalami operasi pengangkatan janin. Meski masih sebagai calon bayi, tetap saja rasa kehilangan itu sama. Saya merasa, kisah ini hadir sebagai empati terdalam seorang Rumi pada salah satu pengalaman perempuan yang paling berat, yaitu melahirkan. Pengalaman yang bisa berujung pada masalah kesehatan fisik, mental, bahkan kematian.
Rumi menggambarkan ekspresi perempuan tersebut dengan menggunakan diksi naleh (berteriak) dan shekayat (menggugat) untuk mewakili perasaan kesedihan yang medalam. Ini juga sekaligus menjelaskan bahwa ekspersi sedih sebagai respon awal menghadapi ketidaknyamanan adalah sesuatu yang wajar, bahkan pada batas tertentu diperlukan. Dalam terapi psikologis, untuk bisa menyembuhkan luka batin, perlu dimulai dengan mengenali dan mengakui perasaan-perasaan yang dialami, tidak malah mengabaikannya. Apalagi jika kecemasan dan kesedihan itu sudah mengarah ke depresi, perlu berkonsultasi dengan tenaga profesional, seperti kisah perempuan itu yang mendatangi seorang bijak atau ahli jiwa pada masanya.
Hal menarik dari kisah ini versi Rumi, metode penyampainnya yang berbeda. Pembaca tidak langsung disuguhi alasan-alasan teologis, tetapi terlebih dahulu diajak membersamai sang tokoh dalam berproses memahami sebuah peristiwa secara natural. Pada tahapan berikutnya, barulah Rumi memasuki lapisan yang lebih dalam lagi dengan menyampaikan pengalaman keagamaan sang tokoh melalui mimpi. Inilah pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh Rumi bahwa seseorang yang mampu melewati rasa sakit dan mengikhlaskan peristiwa yang terjadi, berhak mendapat reward terbaik.
Catatan penting yang perlu diingat, penggambaran Rumi tentang surga dengan diksi Bagh atau ‘taman’ hanyalah simbol untuk mendekatkan pemahaman pembaca. Tentu saja, maksud sesungguhnya adalah kenikmatan spiritual. Penjelasan itu disampaikan Rumi di sela-sela kisah yang dituturkannya dalam jilid 3 Matsnawi Maknawi, bait 3404-3408:
Taman yang kumaksud adalah kenikmatan tak ternilai,
puncak dari segala kenikmatan dan keindahan
Bukan taman yang tampak secara fisik, ia hanya simbol
sebagaimana lentera menjadi simbol cahaya ilahi
Taman itu bukan taman biasa, tapi kenikmatan malakuti
taman hanya diksi, agar maksud sebenarnya bisa kau pahami
Dan perempuan itu merasakan ‘mabuk’ kebahagiaan
setelah menyaksi langsung tajaliyyat Tuhan
Bait terakhir menggambarkan tingkatan tertinggi spiritualitas. Dan perempuan dengan pengalaman khasnya bisa meraihnya melalui ‘jalan tol’. Kenikmatan spiritual ini, tentu dengan gradasinya masing-masing, juga dapat diperoleh saat masih di dunia. Bagi saya, ini adalah hadiah Tuhan yang luar biasa untuk mengapresiasi salah satu pengalaman perempuan. Pertanyaanya, bagaimana dengan perempuan yang tidak mengalami peristiwa seperti kisah perempuan itu. Ya, tentu saja masih banyak jalan menuju Tuhan, misalnya jalan luka-luka lainnya yang dikelola menjadi cinta.