Alkisah, seorang pemuda datang ke hadapan Nabi Musa AS. Ia ingin sekali diajarkan bahasa binatang. Awalnya Nabi Musa AS menolak karena tidak akan mendatangkan kebaikan kepadanya, bahkan akan merugikannya. Tapi karena pemuda itu terus mendesak, Nabi Musa pun memenuhi permintaanya dengan syarat ia berani menanggung segala resikonya. Singkat cerita, pemuda itu akhirnya mampu berbahasa ayam dan anjing.
Suatu pagi, pemuda itu mendengar percakapan anjing dan ayam miliknya. Ayam memprediksi kalau kerbau milik majikannya akan mati, anjing bersorak gembira karena berarti besok ia akan mendapat jatah makanan lebih. Si pemuda itu segera menjual kerbaunya ke pasar agar dia tidak rugi karena kematian kerbaunya. Hari berikutnya, ayam memprediksi kematian budak majikannya. Pemuda itu juga bertindak garcep langsung menjual budaknya.
Setelah mengalami dua peristiwa tersebut, si pemuda merasa beruntung bisa bahasa binatang, karena dia terhindar dari kerugian materi akibat kematian kerbau dan budak miliknya. Tapi cerita belum berakhir. Keesokan harinya, pemuda itu mendengar prediski ayamnya kalau ia sendiri yang akan mati. Dengan penuh rasa ketakutan, pemuda itu kembali mendatangi Nabi Musa dan menyesali keputusannya. Nabi Musa memohonkan ampunan kepada Tuhan, tapi ia tetap harus menerima takdir kematiannya.
Cerita yang dimuat di dalam buku Matsnawi Maknawi jilid 3 bait 3266-3398, memberikan banyak catatan menarik. Sebagaimana kisah Rumi lainnya, cerita ini pun mengandung pesan yang berlapis-lapis yang juga ditafsirkan sendiri oleh Rumi di sela-sela cerita ini.
Pertama, manusia perlu mempertimbangkan segala keinginan dan lakunya, karena setiap laku memiliki konsekuensinya tersendiri. Kata Rumi masih dalam Matsnawi jilid 3 bait 3372, orang yang berakal adalah mereka yang mempertimbangkan akibat lakunya sebelum berbuat, bukan orang yang menyesal karena kecerobohannya.
Kedua, dalam cerita itu dikisahkan, si pemuda merasa beruntung dengan cara melimpahkan kerugian kepada yang lain, padahal kenyataannya ia tengah menggali kuburannya sendiri. Manusia kerap kali mengejar keuntungan semu dengan cara merugikan orang lain. Padahal dalam hukum semesta, tak ada keburukan yang kita lakukan kepada orang lain, kecuali ia akan kembali kepada diri kita dalam berbagai bentuknya.
Kata Rumi di sela-sela ceritanya dalam bait 3342, karena ia buta dengan masalah qada dan qadar, ia menggengam hartanya dan sebagai ganti melepaskan jiwanya. Di bait berikutnya Rumi dalam bait 3348 juga mempertegas, meskipun secara sepintas pemuda tamak itu selamat dari kerugian materi, namun ia harus kehilangan nyawanya. Di sini, Rumi seolah ingin berpesan bahwa kekikiran dan kezaliman dapat mendekatkan seseorang pada takdir buruknya.
Ketiga, tidak semua hal di dunia ini perlu kita ketahui dan kuasai. Setiap manusia memiliki kapasitasnya masing-masing, tidak perlu memaksakan sesuatu yang di luar kemampuannya. Misalnya, dalam ranah tasawuf, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengetahui tabir kegaiban. Kata Rumi di akhir cerita ini dalam bait 3387, orang yang dapat memperoleh rahasia alam gaib hanya mereka yang benar-benar mampu menjaga rahasianya. Tentu saja, bait ini memerlukan kajian yang lebih dalam.
Namun dalam penjelasan yang universal dan kekinian, pesan Rumi ini bisa dimaknai bahwa dalam menghadapi hal-hal yang menjadi rahasia Tuhan seperti waktu, jodoh, dan kematian, kita perlu terus belajar berbaik sangka. Menjalani hidup di masa kini dan tidak mencemaskan masa depan. Bukankah hidup justeru menjadi lebih indah karena misteri hari esok?