Alksiah, di masjid Nabawi, ada sebuah tiang terbuat dari batang pohon kurma yang biasanya menjadi tempat bersandar Rasulullah SAW ketika berkhutbah. Karena jamaah umat Islam mulai ramai, seorang sahabat berinisiatif membuatkan Baginda Nabi mimbar agar jamaah dari berbagai sudut tetap dapat melihat dan mendengar Nabi berkhutbah. Suatu hari, Nabi mendengar tangis kesedihan dari arah tiang tersebut. Rupanya ia bersedih karena kerinduan kepada Sang Nabi yang tidak lagi bersandar kepadanya. Lalu Rasulullah SAW datang mendekat dan membisikkan sesuatu yang dapat meredakan kesedihannya.
***
Kisah ini disampaikan panjang lebar oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam kitab Matsnawi jilid pertama bait 2113-2124. Menurut Foruzanfar, penulis Ahadits Matsnawi (kitab yang khusus mengupas hadis Nabi yang ada dalam syair Matsnawi) redaksi asli hadis ini terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Dalailun Nubuwwah. Di kalangan umat Islam, Riwayat tersebut dengan berbagai redaksinya cukup popular. Namun di tangan Rumi kisah ini menjadi lebih hidup dengan pilihan-pilihan diksi yang penuh rasa. Misalnya dua bait pembuka cerita ini.
استن حنانه از هجر رسول
ناله میزد همچو ارباب عقول
گفت پیغامبر چه خواهی ای ستون
گفت جانم از فراقت گشت خون
Layaknya manusia, tiang itu meratap penuh kepedihan
Karena terpisah dari Rasul yang mulia
Rasul bertanya: “Duka apa gerangan yang menyelimutimu?”
Ia menjawab: “Jiwaku berdarah karena keterpisahan denganmu”
Dalam bahasa Persia diksi جانم گشت خون atau “jiwaku berdarah” mewakili ungkapan kepedihan yang mendalam karena keterpisahan pecinta dari sosok yang dicintainya. Di sini Maulana Rumi seolah ingin menjelaskan bahwa seluruh wujud di alam semesta memiliki ikatan ruh yang kuat dengan Rasulullah SAW, karena Rumi meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya perantara penciptaan alam, bahkan ia sendiri merupakan batin semesta.
Di sisi lain, ungkapan ini juga meninggalkan kesan mendalam dalam benak kita, sebatang pohon kurma saja memiliki kerinduan yang begitu hebat kepada Rasul, bagaimana mungkin kita manusia yang diberikan potensi lebih tidak merindukan sosok Rasul yang agung. Secara tidak langsung, fitrah kita akan kembali terpanggil untuk berkoneksi dengan batin semesta. Begitulah kelebihan syair-syair Rumi, selalu dapat menghidupkan cerita hingga memberikan dampak luar biasa bagi pembacanya.
Dalam bait-bait selanjutnya, Rumi mengungkapkan dialog antara Baginda Nabi Muhammad dan sebatang pohon kurma. Untuk mengobati kesedihannya, Nabi Muhammad SAW menawarkan dua pilihan. Pertama, ia dapat kembali menjadi pohon kurma yang berbuah ranum, orang-orang dengan suka cita akan memetiknya. Kedua, di hari kiamat nanti ia akan menjadi pohon rindang yang tak akan pernah layu. Dalam cerita itu disebutkan, sebatang pohon kurma lebih memilih kehidupan abadi. Kemudian Rasul memerintahkan untuk memakamkannya.
Sungguh indah bagaiamana Rumi melukisakan sosok Rasul yang welas asih. Bahkan, sebatang pohon kurma saja ia muliakan dengan cara memakamkannya. Gambaran ini dapat memberikan banyak sudut pandang. Dari pendekatan ekologi, kita mendapat pelajaran berharga tentang bagaimana mencintai dan memuliakan seluruh wujud di alam. Begitu juga dalam pendekatan tasawuf, pemakaman bisa ditafsirkan sebagai simbolisasi, ketika seseorang memilih keabadian, maka ia perlu melalui proses penguburan ego dan nafsu kediriannya. “Anda jangan mau kalah dari sebatang kayu”, pesan menohok Rumi di sela-sela ceritanya.
Catatan menarik lain ketika Rumi menggambarkan Nabi Muhmmad SAW yang memberikan dua pilihan reward. Maulana Rumi seolah ingin menunjukkan bahwa dalam Islam, setiap orang memiliki ruang kebebasan. Agama memang seharusnya tidak mendikte pengikutnya dengan doktrin-doktrin salah dan benar, tetapi bagaimana ia memberikan berbagai tawaran berikut konsekuensinya masing-masing. Keyakinan yang dijalani melalui pilihan tentu akan memberikan kenyamanan kepada pemeluknya dibanding lewat dogma dan pemaksaan.
Terlepas dari berbagai tafsir yang mengemuka, benang merah dari cerita tersebut mengajak kita untuk merenungkan kembali bahwa kerinduan setiap wujud di alam kepada Rasulullah SAW akan bersambut, sebuah kerinduan yang tampak sederhana namun dilakukan dengan tulus dan sepenuh jiwa. Tentu saja, gambaran ini dapat memberikan inspirasi sekaligus memotivasi kepada kita untuk selalu memupuk rasa rindu kepada Kanjeng Nabi. Karena menurut Rumi dengan mengutip langsung sabda Nabi, jiwa-jiwa kita adalah bagian dari ‘ruh’ Rasulullah SAW.
Nabi bersabda: Wahai Tuan!
Aku seperti seorang Bapak yang penyayang
Karena jiwa kalian adalah bagian dariku
Bagaimana mungkin anggota akan terpisah dari kesatuannya
Jika jiwa terpisah dari sumbernya, ia tak mampu bergerak
Sebagaimana anggota tubuh yang terpisah dari badannya
Selama jiwa belum tersambung pada sumber asli
Ia akan mati dan tak mampu menyesap kebenaran sejati
(Matsnawi, juz 3, bait 1934-1937)
Duhai Nabi, sungguh mulia hatimu yang berkenan merangkul seluruh umatnya. Semoga jiwa-jiwa kami dapat selalu bertaut kepadamu hingga jiwa ini bisa terus hidup, bergerak dan berenang di telaga hikmahmu.