Alkisah, ada pemuda yang amat mencintai seorang perempuan. Sayangnya, berbagai upaya yang ia lakukan untuk mendekatinya tak pernah berhasil. Jangankan bisa berjumpa langsung dengan sosok yang didambanya, surat-surat yang ia tulis saja tak pernah sampai dan utusan yang ia kirim pun selalu kembali dengan tangan kosong. Hari demi hari terus berlalu, waktu pun silih berganti, bertahun-tahun lamanya lelaki itu ditikam kerinduan yang mendalam.
Sampai suatu malam saat sedang berjalan seorang diri, si pemuda bertemu dengan petugas patroli kerajaan. Karena dikira pencuri, petugas itu mengejar dan akan menangkapnya. Si pemuda berlari dan bersembunyi di sebuah kebun tertutup. Di tengah rasa takut yang mendera, ia melihat seorang perempuan yang sedang membawa lentera. Betapa terkejutnya saat ia mengatahui sosok itu adalah orang yang selama ini dicintainya. Lalu bagaimana perasaan pemuda itu ketika akhirnya bisa berjumpa dengan sosok pujaanya? Dan seperti apa pula reaksi sosok perempuan tersebut?
Kisah ini disampaikan oleh Maulana Jalaluddin Rumi secara panjang lebar dalam kitab Matsnawi bagian akhir jilid 3 dan berlanjut ke bagian pertama jilid 4. Di awal cerita, Rumi menggambarkan bagaimana upaya si pemuda untuk memperjuangankan cintanya. Selama hampir tujuh tahun ia tetap setia dalam penantian dan menahan segala rasa rindu. Pemuda itu juga terus mengupayakan sebuah perjumpaan.
Di sela-sela menceritakan kesungguhan pemuda saat mengejar harapannya, Rumi menyelipkan sebuah pesan “Pada setiap kesungguhan ada hasil yang menanti, sebagaimana Nabi pernah bersabda: Setiap kali engkau mengetuk pintu, akan terbuka sebuah kesempatan untuk bertemu dengan maksud yang kau tuju” Dalam bait lainnya Rumi bersenandung “Jika kau terus berjuang sampai kakimu tak lagi dapat melangkah, Tuhan akan bentangkan sayap agar kau bisa terbang lebih jauh”
Ternyata kesungguhan pemuda tersebut akhirnya membuahkan hasil meski dengan jalan yang tak terduga dan melalui perantara petugas patroli kerajaan. Petugas yang biasanya tak segan melakukan tindakan lalim kepada rakyat demi mendapat pujian istana. Namun kali ini, ia telah menjadi perantara perjumpaan seorang pemuda dengan perempuan yang dicintainya hingga ia merasa bersyukur dan mendoakan sepenuh hati petugas itu.
Lagi-lagi di sini Rumi menyelipkan pesan melalui lantunan puisinya masih dalam jilid 4 kitab Matsnawi “Tak ada keburukan mutlak di dunia ini, ia hanya bersifat relatif. Sebuah fenomena di alam, mungkin akan membuat seseorang berbahagia dan bertumbuh, namun di saat yang sama bisa jadi membuat yang lain berduka bahkan kehilangan”.
Kembali kepada cerita di atas. Ketika para pembaca membayangkan sebuah pertemuan indah antara pemuda dan orang yang sangat dicintainya, Rumi malah membuat plot twist yang berbeda. Pemuda yang dari awal digambarkan sebagai sosok yang mampu bertahan menghadapi segala derita dan sabar menyimpan kerinduan selama bertahun-tahun, berubah menjadi lelaki yang bertindak spontanitas dan terburu-buru.
Tanpa berpikir panjang, pemuda itu mendekat ke arah sosok yang dicintai lalu ia memeluknya. Sosok perempuan dalam cerita tadi, tidak hanya melepaskan paksa pelukan si pemuda, dengan tegas ia juga menegur perilaku orang di hadapnnya. Alih-alih meminta maaf, pemuda itu malah berseloroh “Di sini kan sepi, tak ada seorang pun bersama kita, selain angin.” Rumi dengan meminjam ungkapan tokoh perempuan memberikan jawaban yang menohok. “Anda bisa merasakan kehadiran angin, namun mengapa Anda tidak bisa merasakan dzat yang menggerakkan angin?”
Dialog antara pemuda dan sosok perempuan itu sebenarnya cukup panjang, namun tentu dalam ruang terbatas ini tidak mungkin menghadirkannya secara utuh. Intinya, perempuan tersebut mengingatkan si pemuda bahwa perilakunya tidak mencerminkan seorang pecinta, tetapi pemuja ego. Karena pecinta sejati tidak akan berhenti pada tujuan-tujuan pragmatis. Pemuda itu hanya mengatasnamakan cinta untuk memenuhi keinginannya sendiri dan amat jauh dari pemahaman cinta yang sesungguhnya.
Karim Zamani, salah seorang penafsir terbaik puisi-puisi Rumi memberikan catatan pada cerita ini. Menurutnya, sosok perempuan merupakan simbolisasi dari guru sufi yang sedang memberikan wejangan kepada muridnya yang disimbolkan oleh tokoh pemuda. Para pejalan pemula seringkali menganggap dirinya telah sampai pada hakikat ilahiah, padahal mereka masih berada di lapisan luar dan belum sepenuhnya mampu mengendalikan keegoannya.
Terlepas dari tafsir yang mengemuka, sebagai pembaca perempuan saya pribadi sangat berfokus pada ending cerita ini, terutama bagaimana cara Rumi menggambarkan sosok perempuan yang tegas dan memiliki karakter kuat. Ia tidak hanya selamat dari permainan yang mengatasnamakan cinta, bahkan ia memberikan kesadaran tentang makna sebenarnya seorang pecinta.
Rasanya pesan ini masih sangat relate dengan kondisi sosial hari ini. Sosok perempuan dalam cerita di atas dapat menjadi sumber inspirasi bagaimana ia mengupayakan membangun relasi sehat dan dua arah dengan pasangan di atas landasan cinta yang transendental.