Seorang arif dan pecinta dapat berlebaran setiap hari,
tak perlu menanti setahun sampai eid datang kembali.
Sungguh indah potongan puisi Maulana Jalaluddin Rumi yang ia tulis dalam ghazal ke-583 kitab Divan-e Kabir. Rumi mengajak kita untuk melihat apapun dari sudut pandang seorang pecinta, termasuk ketika memaknai fenomena keagamaan seperti hari Raya Idul Fitri atau yang biasa kita sebut sebagai lebaran. Mengapa Rumi berpandangan seorang pecinta dapat berlebaran setiap hari? Bagaimana sebenarnya makna lebaran sendiri menurut Rumi?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada hal yang mungkin perlu dicatat, Rumi bukan menolak pengertian lebaran sebagaimana yang dipahami oleh kaum muslimin secara umum. Dalam salah satu potongan puisinya, ghazal ke-236, Rumi mengungkapkan kebahagiaanya ketika menyongsong Hari Raya Idul Fitri “Selamat datang Bulan Puasa, malam Lailatul Qadr, dan Hari Raya” Sebagai penyair sufistik yang lahir dari rahim masyarakat muslim, Rumi menyadari dan memahami pentingnya kehadiran peristiwa Hari Raya Idul Fitri secara sosiologis maupun antropologis di kalangan umat Islam.
Di Indonesia sendiri, ritual Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran telah menyatu dengan berbagai unsur kearifan lokal. Budaya mudik, THR, berkirim makanan, malam takbiran, sungkeman, hidangan ketupat, halal bihalal, dan banyak lagi menjadi saksi harmonisasi antara nilai-nilai keagamaan dan tradisi keindonesiaan yang telah terbangun secara kuat. Tentu tradisi baik ini perlu terus dirawat dengan selalu menghadirkan dimensi spiritualitas di dalamnya.
Maulana Rumi mengajak kita untuk melihat makna Hari Raya melampaui aspek ritual dan kultural, dengan masuk ke lapisan yang lebih dalam lagi. Kata Rumi, dalam ghazal ke-112, Eid atau Hari raya adalah hari ketika seseorang telah merasakan ‘kehadiran’ Tuhan. Atau dengan kata lain, dimensi ilahiah telah tercerap dalam dirinya, sehingga ia menjadi manusia bahagia yang penyayang. Dalam puisi lainnya, Rumi menyebutkan Eid atau Hari Raya adalah hari ketika seseorang terlahir kembali dari rahim kehidupan. Ia menjadi pecinta yang membagi Eidi atau bingkisan kasih sayang kepada sesama.
Dengan melihat dua pengertian di atas, makna Hari Raya tidak mengarah pada suatu waktu tertentu, tetapi kondisi spiritual seseorang yang telah merasakan kebahagiaan sejati. Menariknya lagi, ia yang telah merasakan Hari Raya akan membagi kebahagiaannya tidak saja kepada sesama muslim tapi juga seluruh umat, karena pada hakikatnya kita adalah keluarga besar yang disatukan oleh esensi kemanusiaan. Seperti yang pernah didengungkan Rumi dalam ghazal ke-109 “Kita adalah satu jiwa yang menempati tubuh berbeda. Tua, muda, dan juga kanak-kanak”.
Semoga kebahagian lebaran kali ini tidak hanya dapat dirasakan oleh mereka yang selama sebulan penuh melakukan perjalanan rohani, tapi juga menjadi berkah untuk sesama umat manusia di mana pun berada.