Jumat, Oktober 4

Munuju Pendidikan Berbasis Cinta: Tafsir Ghazal 132

Beberapa hari lalu, tepatnya pada 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Di hari yang sama, secara kebetulan, masyarakat Iran juga sedang merayakan Hari Guru. Toko-toko bunga di sepanjang Valiashr, jalan menuju kampus saya, dikerumini para pembeli. Di tengah wajah-wajah ceria mahasiswa yang membawa setangkai bunga untuk dosen mereka, saya teringat sebuah obrolan dengan seorang dosen tentang betapa hari ini makna pendidikan telah mengalami pendangkalan.

Agaknya, ini memang sudah menjadi tantangan pendidikan di tingkat global. Alasan keinginan untuk segera lulus dan mendapatkan pekerjaan mapan, melahirkan cara-cara instan dan menghindari proses panjang yang dianggap melelahkan. Lembaga pendidikan seringkali hanya dipandang sebagai tempat untuk menghasilkan lulusan yang siap diserap oleh pasar tenaga kerja, terlepas dari apakah para siswa dan mahasiwa menjalani proses pengajaran dengan perasaan bahagia atau tidak. Tujuan-tujuan parsial yang pragmatis telah menggerus relasi kemanuisaan dan cinta.

Di situasi inilah, puisi-puisi Maulana Jalaluddin Rumi, guru dan pendidik umat sepanjang jaman, seperti membangunkan kembali kesadaran kita, terutama pesan puisi Ghazal ke 132. Karim Zamani, salah seorang penafsir terbaik karya Rumi, memberi judul ghazal ini dengan “Dialog antara Akal dan Cinta”. Tentu, maksud akal di sini bukanlah potensi intelektualitas yang menjadi keunggulan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Tetapi akala tau kecerdasan empiris matematis yang merupakan tingkat kecerdasan terendah dibandingkan kecerdasan spiritual yang melahirkan cinta. Begini Rumi bersenandung dalam Ghazalnya:

Taman cinta lahir dari jalan kepedihan dan luka

Para pecinta hanya fokus pada keindahan kekasih, tanpa sempat berkeluh kesah

Akal berkata: “Realitas hanya terbatas pada yang mampu ditangkap indera”

Cinta menjawab: “Tidak, ada begitu banyak jalan. Dan aku berkali-kali telah menghampirinya”

Akal hanya mempertimbangkan kalkulasi untung rugi

Tapi cinta mampu melampui hitungan materi

Lihatlah Mansur Alhalaj yang karena keyakinannya pada cinta, memilih jalan kesunyian

Ia tinggalkan mimbar ketenaran dan segala kenyamanan

Pecinta mereguk anggur cinta sampai ke dasar cawan

Para Empirisis hanya menyeruput bagian permukaan

Akal kembali berkata: “Jangan tempuh jalan sufistik, kau hanya akan tertusuk duri”

Cinta menjawab: “Engkau sendirilah yang menanam duri prasangka ini”

Mari hening sejenak, bersihkan jiwa dari duri-duri (sifat kedirian)

Agar kau jumpai dalam dirimu taman cinta sejati

Ada begitu banyak hikmah yang dapat diurai dari larik-larik Ghazal Rumi tersebut. Meskipun syair di atas berbicara tentang perjalanan sufistik (akan saya bahas di lain kesempatan) namun dalam konteks sebagai pembelajar, syair Rumi ini pun dapat dijadikan sumber inspirasi.

Pertama, seorang pembelajar sejati, bukan mereka yang selalu mendapat prestasi-prestasi gemilang, tetapi mereka yang survive dan struggle menghdapai berbagai kesulitan dan tantangan selama proses pembelajaran yang panjang. Karena sejatinya, ketangguhan inilah yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai realitas hidup yang tak selalu berjalan manis.

Kedua, pembelajar sejati mampu berpikir di luar mainstream. Tidak melihat persoalan hanya dari yang tampak di permukaan, tapi mampu menyelam dan menganalisa gejala-gejala yang terjadi secara lebih mendalam, sehingga akan melahirkan sosok yang kreatif dan inovatif.

Ketiga, di samping menginput berbagai pengetahuan, seorang pembelajar sejati juga memerisai dirinya dengan pengembangan karakter yang dalam istilah Rumi disebut membersihkan dari duri-duri nafsu kedirian. Bahkan dalam teks-teks keagamaan sering dijumpai bahwa membersihkan diri dari sifat-sifat tercela merupakan syarat seorang pencari ilmu. Karena sejatinya ilmu adalah cahaya, dan cahaya hanya akan bersemayam pada mereka yang berupaya memperbaiki dirinya.

Elaborasi dari sifat tangguh, mampu berpikir kreatif, dan memiliki karakter kuat, inilah yang mampu mengantarkan seseorang pada tujuan pendidikan sesungguhnya yang dalam diksi Rumi disebut sebagai Taman Cinta. Pendidikan berbasis cinta ini, tidak hanya mampu memberikan kebahagiaan kepada dirinya sendiri, tapi juga semesta.