Mengapa puisi Rumi begitu dicintai berbagai kalangan, tua-muda tanpa kenal Batasan? Tentu selain pilihan diksinya yang indah dan menyentuh sisi terdalam manusia, pesan-pesannya juga selalu relate dengan persoalan hidup, bahkan sampai hari ini. Misalnya, Ghazal 214 ini yang berbicara tentang pentingnya ‘bergerak’ dan melakukan perjalanan.
Rumi memulai bait-bait pertama dengan menunjukkan beberapa contoh di alam, melalui gerakan yang dilakukkannya, mereka memberikan kebermanfaatan bagi semesta; matahari yang berotasi, air yang mengalir, udara yang berhembus, bahkan api yang menjilat. Nampaknya, ilustrasi sederhana ini untuk mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih jauh lagi tentang keberhasilan orang-orang besar yang dihasilkan melalui pergerakan dan perjalanan panjang.
Terma safar atau perjalanan dalam puisi Rumi ini bisa dimaknai secara umum, baik perjalanan ke luar diri (Ufuqi) maupun perjalanan ke dalam diri (Anfusi). Pertama, karena dalam puisi tersebut tokoh-tokoh yang disebutkan Rumi juga secara fisik mengalami perpindahan ruang, baik itu karena situasi maupun karena pilihan, seperti kisah Nabi Yusuf AS dan Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Makkah ke Madinah.
Kedua, dalam kitab Matsnawi, terma safar juga tidak hanya bermakna safar spiritual, misalnya dalam kitab Matsnawi jilid 6 bait 2616 disebutkan: “Berjalanlah ke berbagai penjuru dunia, jemputlah rejeki dan kebahagiaan” (Penjelasan lebih lanjut tentang perjalanan menurut Rumi bisa merujuk ke buku Ngaji Rumi, hal 135-138).
Ketiga, Kalau melihat fakta-fakta sejarah, tidak sedikit para ulama klasik, terutama tokoh sufi yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari guru-guru terbaik, seperti Bayazid Bastami, Athar Nishaburi, Shams Tabrizi, Hakim Sanai, Saadi, dan banyak lagi. Rumi sendiri sudah melakukan perjalanan bersama keluarga besar sejak masih belia hingga akhirnya menetap di Konya.
Keempat, secara tidak langsung, Rumi ingin berpesan bahwa perjalanan ke luar diri juga kadang diperlukan untuk membantu seseorang mengenal dirinya. Perjalanan akan merekam bagaimana kita merespon berbagai peristiwa dan tidak hanya menyimpannya menjadi sebuah kenangan, tapi sebagai cermin untuk melihat diri kita lebih dalam.
Bait terakhir, menjadi inti dari pesan Ghazal ke 214 ini, tidak penting sejauh apa perjalanan yang kita tempuh dan tempat-tempat suci apa yang pernah kita kunjungi. Yang terpenting, seberapa jauh perjalanan itu telah menyekolahkan ego kita menjadi pribadi yang lebih mengenal penciptanya dan mengasihi sesama.
Jika pohon dapat berpindah tempat
Ia akan terbebas dari gergaji dan kampak
Jika matahari dan bulan serupa batu yang tak bergerak
sinarnya tak kan mampu menerangi siang dan malam
Sungai Dejleh dan Furat akan menjadi pahit dan getir
jika alirannya terhenti dalam kubangan serupa lautan
Dan udara yang terjerembab dalam ruang tertutup
akan beracun, tercemar, dan menyesakkan dada
Air laut yang pahit dan asin akan berubah segar
ketika bersafar dan menjelma gumpalan awan
Jika lidah api tak bergerak
Ia akan mati dan menjadi debu
Lihatlah kehidupan Nabi Yusuf yang didapuk menjadi pemimpin
karena perjalanan yang membawanya ke Mesir dan berjarak dari sang Ayah
Tengoklah cerita Nabi Musa yang diangkat menjadi orang besar
juga karena aliran air yang membawanya ke istana dan terpisah dari sang Ibu
Perhatikan juga kisah Nabi Isa yang mampu menghidupkan kembali orang mati
sebab Ia telah melewati rupa-rupa perjalanan
Begitu pun perjalanan Nabi Muhammad yang awalnya rela meninggalkan Mekkah
namun akhirnya, dengan kekuatan penuh, dapat membebaskan kembali tanah kelahirannya
Dan puncak spiritualitas Nabi Muhammad dapat diraih
ketika melakukan perjalanan Mi’raj ke alam malakuti
Begitu banyak kisah yang dapat kita jadikan ibrah
silahkan mencari versi Anda sendiri
Catatan akhirku hanya satu, ke mana pun kau pergi
safarlah dari sifat kedirianmu menuju sifat ilahiah….