Alkisah, sekelompok orang China dan Yunani berdebat tentang siapa yang paling mahir dalam melukis. Keduanya saling beradu argumen. Raja yang berkuasa saat itu, menantang kedua kelompok untuk membuktikan perkataan mereka dengan melangsungkan lomba lukis. Lomba diadakan di tempat yang sama, masing-masing peserta menempati ruang yang memiliki pintu saling berhadapan. Mereka bekerja di ruang masing-masing yang disekat oleh tirai.
Para pelukis China mulai mempersiapkan berbagai bahan terbaik, ia miminta pada raja untuk menyediakan seratus warna. Mereka mulai mengeluarkan segala kemahirannya dalam melukis. Sedangkan di kubu pelukis Yunani, tak terlihat pergerakan yang berarti. Mereka hanya sibuk membersihkan dinding kaca dengan seksama. Ketika keduanya telah selesai dengan pekerjaannya, raja datang untuk memberikan penilaian.
Lukisan pertama yang dilihat milik pelukis China, semua berdecak kagum melihat keindahan obyek dan perpaduan warna yang sebelumnya belum pernah mereka saksikan. Tibalah saatnya raja ke ruangan pelukis Yunani, saat tirai dibuka, sebuah lukisan indah terpantul dalam dinding cermin yang telah dibersihkan sedemikian rupa. Pantulan lukisan itu tampak magis dan membuat semua pasang mata terbelalak. Padahal, lukisan yang terpantul itu, tidak lain milik para pelukis China.
***
Kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi jilid pertama ini mungkin sudah sangat familiar dan sering kita dengar. Apa pesan sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Rumi? Alih-alih memberikan kesimpulan mana lukisan yang dipilih oleh raja, Rumi malah membiarkan cerita ini terbuka. Karena tujuan cerita sesungguuhnya, Rumi ingin mengajak para pembacanya untuk merenungi simbolisasi para pelukis Yunani. Kata Rumi,
Para pelukis Yunani itu ibarat para sufi
yang tidak mendulang banyak pengetahuan
namun mereka tekun membersihkan cermin hatinya
dalam hati yang bening inilah, cahaya ilahiah terpantul indah
Rumi dalam kisah ini, seperti memberikan optimisme, di tengah lautan ilmu yang tak berbatas yang mungkin sulit untuk kita gapai. Di tengah segala fenomena yang terjadi yang mungkin tidak selalu kita fahami tujuan dan hikmahnya, ada pintu yang sebenarnya begitu dekat dengan kita dan dapat kita kelola sebaik mungkin, menyeka sedikit demi sedikit cermin dalam hati kita.
Dan puasa merupakan merupakan instrumen terbaik yang diberikan Tuhan untuk melihat kembali situasi cermin hati kita yang selama setahun telah dipenuhi debu keinginan yang menggunung. Keinginan memanjakan perut dengan berbagai makanan lezat, keinginan menjelajah banyak tempat, keinginan ngumpul dan membicarakan keburukan orang lain. Puasa, dapat menjadi ruang jeda kita untuk melihat diri lebih jauh lagi. Kata Rumi: Ketika manusia mulai mengelola ‘santapan’ keinginannya, ia akan belajar menjadi lebih bijak.