Minggu, April 28

Ngaji Rumi: Antara Diogenes, Rumi, dan Puasa

Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian lusuh, menebarkan butiran pasir di atas jembatan yang penuh tumpukan es, sisa salju semalaman. Kondisi jembatan jadi tidak terlalu licin dan orang-orang bisa melintas dengan lebih nyaman. Di lain musim, ia mengambil adukan semen dan pasir untuk menambal lubang-lubang kecil yang meleleh akibat sengatan matahari musim panas. Atau pernah juga saya melihatnya sedang menyapu di pinggiran jembatan.

Awalnya, saya mengira lelaki itu adalah petugas kota yang tidak berpakaian seragam. Namun ternyata sehari-hari, ia memang tinggal di sudut jembatan. Di pagi buta, saya pernah memergokinya sedang tertidur lelap bersandar pada sebuah ransel. Hampir tiap hari saya melewati jembatan itu, rute rumah-kampus, membuat saya mulai mengamati sosok lelaki misterius ini. Saya perhatikan, dia tidak meminta-minta uang kepada yang lalu lalang dan ia juga tak banyak bicara. Dia seolah menikmati dunianya, di waktu senggang hanya duduk saja menyantap makanan apa adanya.

Saya tidak tahu, siapa lelaki ini, apakah ia punya keluarga dan tempat tinggal. Hanya saja perilakunya mengingatkan saya pada sosok Diogenes, filsuf mazhab sinis Yunani. Diogenes juga memilih hidup di jalanan dengan pakaian compang camping dan sama sekali tidak punya hasrat duniawi. Ia dikenal dengan julukan doggish atau di Timur Tengah masyhur sebagai mazhab Kalbiyyun. Ada banyak alasan, di antaranya karena ia memilih hidup di jalanan seperti kebanyakan anjing, namun di satu sisi dia adalah krtikus yang galak, seperti anjing yang menyalak.

Meskipun semua orang tahu kepintaran Diogenes, ia tetap tidak disukai karena cara hidupnya yang di luar kebiasaan masyarakat. Tak jarang ia dicampakkan bahkan diludahi. Tapi siapa sangka, gelandangan kota ini menjadi sosok yang sangat ingin ditemui oleh Alexander Agung, sang penakluk dunia. Suatu hari, setelah mencari ke berbagai sudut kota, akhirnya Alexander menemukan Diogenes sedang berjemur di bawah teriknya mentari.

Setelah memberikan berbagai pujian, Alexander menawarkan sejumlah harta dan jabatan kepadanya. Alih-alih menerima tawaran ini, Diogenes malah mengusir halus Alexander dengan mengatakan: “Keinginan saya hanya satu, bergeserlah dari tempatmu karena keberadaan Anda telah menghalangiku dari sinar matahari.” Apakah para akademisi kita harus ngemper dulu di pasar dan menghanyutkan jurnal-jurnal mereka, agar para penguasa itu mencari mereka? Hihi…canda ah, yang ada mereka semakin pesta pora.

Tidak hanya Alexander yang mengagumi Diogenes, beberapa filsuf muslim dan tokoh sufi juga memujinya. Setidaknya, dua sufi besar, Athar dan Rumi mengingat sosok Diogenes dalam puisi mereka. Rumi sendiri dalam Divan-e Shams, ghazal ke 441, menggunakan diksi Seikh untuk menyebutkan sang filsuf. Rumi menyelipkan sebuah bait, jaman dahulu, ada seorang Seikh yang pekerjaannya membawa lampu di jalanan kota yang penuh orang lalu lalang, mencari dan merindukan “manusia”

Konteks Rumi membawakan bait tersebut, setiap orang memiliki harapannya masing-masing dalam hidup. Yakub selalu merindukan pertemuan dengan Yusuf, ikan-ikan kecil menginginkan dicintai hiu dan paus, pecinta merindukan kekasihnya, begitu juga Diogenes merindukan insan sejati dan membuka topeng-topeng mereka. Agaknya ajaran Diogenes tidak hanya menginspirasi para pengembang filsuf stoikis yang belakangan popular, ia juga merembas dalam aliran tasawuf.

Beberapa pemikiran Diogenes yang memiliki irisan dengan tasawuf Islam antara lain “Jika manusia dapat mengendalikan diri terhadap segala kesenangan duniawi, barulah dapat mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin” “Rasa lapar dan rasa sakit berguna untuk melatih moral manusia”

Pesan-pesan tersebut sangat kental kita temui dalam banyak puisi Rumi, kalau tidak ingin disebut, hampir seluruh puisi Rumi, baik Matsnawi maupun Ghazal menyimpan pesan senada. Sulit mencari puisi Rumi yang akhirnya tidak membicarakan tentang pengendalian diri. Bgitu juga tentang menahan lapar atau dalam bahasa agama dikenal dengan puasa. Tak terhitung betapa banyak Rumi menggunakan diksi puasa (rouzeh) dalam bahasa Persia. Terakhir saya temukan, setidaknya ada tiga Ghazal yang setiap Ghzala itu, diakhiri dengan kata puasa. Indah sekali!

Tentang konsep puasa secara umum dalam pandangan Rumi, sudah pernah saya tulis dan dapat dibaca di buku Ngaji Rumi. Ini sedikit saya selipkan puisi tambahan yang belum ada dalam buku tentang puasa dan pengendalian diri menurut Rumi.

‎یا حریص االبطن عرج هکذا

‎انما المنهاج تبدیل الغذا

Hai engkau yang tamak, kurangilah makanmu

karena jalan terang itu datang saat kau perbaiki pola makanmu

‎ایها المحبوس فی رهن الطعام

‎سوف تنجو ان تحملت الفطام

Wahai yang masih terpenjara oleh kelezatan duniawi

Jika mampu kendalikan, kau akan peroleh keberuntungan

‎ان فی‌الجوع طعام وافر

‎افتقدها وارتج یا نافر

Sesungguhnya dalam rasa lapar itu ada makanan yang berlimpah

Hai yang menghindari rasa lapar, berlatihlah, karena di sana ada harapan