Penulis Resensi: Isti Toq’ah (Fouder Pandaiindonesia dan Penggerak Gusdurian Jakarta)
Pembukaan: Relasi Kesalingan, Bukan Relasi Kuasa
Buku ini terdiri dari enam bagian di mana bagian pembuka yang merupakan prolog dari K.H. Husein Muhammad sangat menarik ternyata Rumi mengamini kesetaraan gender yang sering kali dengan gopoh atau terburu-buru oleh mereka yang tidak paham kerap dihakimi hanya merupakan kiriman asing dari Barat. Konsep mubadalah atau relasi kesalingan menjadi jawaban bagi kekerasan yang sering terjadi akibat relasi kuasa. Kesalingan atau relasi yang resiprokal dengan timbal balik dua arah merupakan hubungan yang sehat dan tidak merasa lebih superior di salah satu pihaknya. Rumi menguatkan bahwa laki-laki bukanlah polisi moral bagi perempuan, malahan meminta untuk mendengarkan secara utuh, “Dengarkanlah apa yang dikatakannya, meski menurutmu aneh.” Tidak hanya itu, Rumi juga membalikkan pemaknaan Hadis yang sering disalahpahami secara literal, “Aku tidak meninggalkan sesudahku sebuah fitnah yang lebih membahayakan atas kaum laki-laki daripada kaum perempuan” dengan “Perempuan lahir dari cahaya Tuhan. Ia tak hanya kekasih atau yang tercipta, tetapi dialah pencipta.” Secara lebih mendalam bisa dibaca di bagian kedua buku ini terkait perempuan dan kesetaraan.
Islam Ramah, Bukan Islam Marah
Jika meminjam kacamata Rumi, konsep Islam cinta yang ramah, bukan marah memang benar adanya khususnya di bagian pertama dan ketiga buku ini. Tulisan yang paling saya sukai adalah bagaimana cara menjadi manusia yang penuh rahmat, bukan hanya bagi sesama kelompok agamanya saja, tapi bagi sesama manusia karena pada kenyataannya Allah, Sang Pencipta tidak pilih kasih dalam memberikan kasih sayang-Nya. Ini mengingatkan saya pada Gus Dur yang berpesan semasa hidupnya bahwa “Jika seseorang bukan saudara dalam keimanan, nyatanya orang tersebut masih merupakan saudara dalam kemanusiaan.”
Menjadi manusia yang penuh rahmat dan kasih sayang merupakan cara manusia menjadi cerminan dari sifat Tuhan yang ramahnya lebih besar daripada marahnya. Juga, konsep Tri Hita Karana yang lebih sering digaungkan oleh Teman-teman penganut Hindu di Bali yang mengingatkan kita untuk berelasi secara seimbang dan harmoni bukan hanya dengan Sang Pencipta, tapi juga sesama manusia dan lingkungan yang sering dianggap benda mati karena tidak bergerak sebenarnya juga ada di dalam Islam jika kita mengulik kembali kata dasar Islam yang berasal dari akar kata yang sama, yaitu salam dan shalom yang berarti “damai.” Itulah mengapa, Rumi didengar dan diikuti oleh beragam manusia yang pernah saya temui di Bumi saat berkesempatan berkeliling ke sembilan negara dan bahkan oleh mereka yang tidak menganut agama Islam (baca: termasuk mereka yang Agnostik dan Atheis) karena seperti Madiba Nelson Madiba pernah katakana bahwa “Kebaikan adalah bahasa yang universal dan bisa dipahami dan meresap di dalam hati semua manusia tanpa memerlukan intelegensi tertentu.”
Tidak Cukup Iman dan Islam, Tapi Juga Ihsan
Tiga tips yang diberikan Rumi dalam buku Matsnawi, pertama adalah sifat tawaduk atau tidak sombong dengan metafor tanah subur yang bisa menumbuhkan apapun darinya, bukan batu keras di tengah padang pasir yang gersang tak bisa menumbuhkan apa-apa. Kedua, ihsan atau berbuat baik kepada sesama menjadi kita umat Islam kepanjangan tangan Tuhan yang Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), dan tidak perlu menjadi “hakim” kalau kita tidak tahu bagaimana cara menegakkan keadilan, “Orang yang tidak mengasihi sesama, Allah tidak mengasihinya (Hadis Qudsi).” Lalu, yang ketiga atau terakhir adalah memaafkan sesama walaupun sering kali dalam hidup mereka yang seharusnya meminta maaf kepada kita tidak akan pernah meminta maaf, bahkan sampai tutup usia.
Masih bersambung tentang keadilan, prinsip ini juga berlaku terhadap relasi orang tua dengan anak di mana orang tua jangan sampai menjadi durhaka dan menuhankan dirinya dan posisinya sebagai orang tua yang berubah menjadi relasi kuasa yang otoriter. Anak juga merupakan manusia yang memiliki jiwa dan berhak untuk disayangi dengan adil, bukan hanya diatur dan diperintah ini dan itu. Seperti perkataan Kahlil Gibran dalam salah satu rune “On Children” (Tentang Anak) di dalam bukunya “The Prophet” (Sang Nabi). Haidar Baghir pernah berkata juga dalam bukunya “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” bahwa Islam akan menjadi kurang ramah dan tampak marah jika hanya difokuskan dan ditonjolkan pada aspek hukumnya saja dan menghilangkan konsep cinta yang sebenarnya jauh lebih bermakna indah karena pada kenyataannya Allah mencintai keindahan. Itulah kenapa orang tua perlu memperlakukan dan mendidik anak sesuai usianya yaitu dengan bahasa yang dimengerti dan dipahami anak. Kemudian, orang tua juga perlu memberikan anak ruang dan kesempatan untuk anak bermain karena dengan bermain sesuai dengan usianya menjadi cara untuk bertumbuh, berkembang, dan belajar. Jika diperas dari 54 hak anak yang diakui oleh Konvensi Hak-Hak Anak, ada 4 hak dasar anak yang juga dilindungi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Selanjutnya, bermain saja tidak cukup, anak juga perlu diberikan ruang dan kesempatan untuk bergaul dan bersosialisasi dengan teman sebayanya, ini berlaku termasuk untuk anak-anak yang bersekolah di rumah atau homeschooling karena satu dan lainnya.
Berislam dengan Bahagia
Sub judul ini saya tulis ulang dari Mbak Afifah Ahmad “Beribadah dengan Bahagia” di bagian keempat buku ini. Sebagai orang yang berulang-ulang mencelup dan mencelup diri dalam siklus: relearn (mempelajari ulang), unlearn (membatalkan pelajaran-pelajaran yang kurang baik), dan learn more (belajar lebih banyak termasuk hal-hal baik yang belum pernah dipelajari) karena banyak luka masa kecil dan remaja di mana salah satunya ada luka radikalisme dan kekerasan berlapis, bagian keempat buku ini memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam proses penyembuhan seumur hidup saya.
Saya selalu takjub dengan doa-doa yang dideres dengan lembut dan indah bagai puisi oleh Teman-teman dari beragam agama termasuk Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Baha’i di mana berdoa menjadi ajang intim dan mesra dengan Tuhan, bukan sekadar menderes deretan keinginan yang egois dan dingin seperti membacakan daftar belanjaan secara dingin hati. Melalui para Sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyyah, Amina Wadud, Jaludin Rumi, Haidar Baghir, Habib Jafar, Sami Yusuf, Gus Dur, Omid Safi, Baraka Blue, dan masih banyak lagi; saya mendapatkan kesempatan untuk membuka luka, mengakui bahwa saya terluka, menyembuhkannya perlahan-lahan tanpa memaksa seperti menanam bibit tanaman yang tidak bisa dipaksa dan diteriaki untuk lekas bertumbuh, dan bersyahadat kembali—beriman, berislam, dan berihsan dengan pilihan dan cara saya sendiri, yaitu Islam cinta dan ramah—di Februari 2018 sepulang dari Oman di mana Ar Rahim mengijinkan dan membukakan jalan untuk berjumpa dengan Sami Yusuf di mana lagu-lagunya membimbing saya pada Islam cinta. Kemudian, menyelami 9 nilai utama Gus Dur, bapak ideologis saya—meski belum berkesempatan bertemu dan bahkan meninggal sehari sebelum saya berulang tahun ke-17 dan memutuskan untuk merantau ke ibukota Jakarta dari kampung saya di ujung timur Kalimantan—membantu proses pengasuhan anak yang terluka dalam diri saya (reparenting inner child) untuk melanjutkan hidup yang sempat saya doakan usai di usia 27 tahun seperti Soe Hok Gie.
Penutup: Tuhan adalah Cahaya di Hati
Di halaman 133, Mbak Afifah Ahmad menyebutkan istilah istitha’ah yang satu akar kata dengan nama saya Isti Toq’ah yang artinya “mampu” baik secara kesehatan fisik maupun mental juga secara finansial di mana menjadi syarat utama rukun Islam kelima yaitu haji. Saya pernah dimarahi karena berkata tidak ingin pergi berhaji jika belum tahu cara mencintai Allah dan Islam dengan bahagia. Kini saya merasa tidak sendiri karena Rumi pun pernah berkata bahwa Allah tidak cukup dicari di kuil, gereja, atau pun masjid, namun Ia ada di dalam hati kita, Ia adalah cahaya yang hanya akan bisa kita sadari ada di dalam hati jika nurani kita jernih dan bisa menjadi cermin, seperti juga kata Gus Dur. Jadi, percuma saja kalau kita memiliki kemampuan untuk berhaji bahkan dengan paket plus yang membolehkan kita untuk tidak perlu mengantri seperti paket ekonomis lainnya, tapi kita hanya pergi ke sana secara fisik dan tidak meresapi atau pun menyelami apa-apa yang bisa terasa hangat sekaligus sejuk di dalam hati, di seluruh jiwa. Saya juga menyadari bahwa Ar Rahim memberikan tempat yang tinggi dan terhormat bagi perempuan dengan menitipkan rahim, tempat kehidupan diciptakan, sehingga di situlah Rumi mengiyakan bahwa perempuan adalah pencipta, bukan hanya tercipta untuk menggenapi dan melengkapi laki-laki sebagai konco wingking (teman di belakang: sumur, kasur, dan dapur). Terima kasih banyak, Mbak Afifah Ahmad sudah menuliskan buku seindah dan seteduh ini. Saya sempat menyerah membaca buku terjemahan Rumi, Fihi Ma Fihi karena entah otak saya yang terbatas atau apa, mirip saat saya menunda menyelesaikan membaca terjemahan buku Kappa karya Ryunosuke Akutagawa yang kemudian saya ulang delapan kali saat SMA dan kelak saat dewasa, juga terjemahan buku Dunia Sophie karya seorang guru filsafat SMA di Norwegia Jostein Gaarder yang baru saya selesaikan tahun lalu. Saya juga tidak percaya diri untuk mencari dan membaca terjemahan Mastnawi. Semoga ke depannya Mbak Afifah Ahmad bisa lebih banyak lagi menulis buku-buku tentang Rumi dan karya-karyanya, bahkan tentang Sufi-Sufi lainnya termasuk Sufi perempuan seperti Rabi’ah al-Adawiyah dengan sumber pertama yang dekat dengan Mbak Afifah Ahmad.