Nabi bersabda: Nafahat Ilahi hari-hari ini datang silih berganti.
Tajamkan pandangan dan lembutkan jiwamu, sambutlah nafahat yang berharga ini.
Nafahat akan datang, menyapamu, lalu hilang.
Ia memberkati siapa saja yang dikehendaki lalu pergi.
Nafahat lain akan datang, sadarilah! Jangan sampai terlewatkan, Kawan!
Nafahat ini punya daya gerak surgawi, bukan gerak duniawi.
(Rumi, Matsnawi jilid 1, bait 1951-1956)
Apakah “Nafahat” yang dimaksud Rumi dalam puisi di atas?
Sebagian penafsir menyebutkan “Nafahat” adalah orang-orang bijak yang diutus ke bumi untuk membangunkan fitrah manusia menuju jalan cahaya. Mereka datang silih berganti sepanjang masa memenuhi bumi dengan cinta dan kasih-Nya.
Ada juga yang menafsirkan “Nafahat” sebagai embusan Ilahi yang ditebarkan kepada seluruh umat manusia untuk mengetuk kesadaran dirinya. Ia datang berkali-kali, namun hanya mereka yang tengah memiliki kepekaan tinggi yang mampu menangkap isyarat ini. Ia bisa datang bertajali menjadi apa pun.
Mungkin ia berupa sahabat yang mengingatkanmu dalam kebaikan, mungkin juga ia menyamar menjadi orang yang membuatmu terluka agar kau kembali kepada-Nya. Mungkin ia menjelma anak-anak penjaja payung yang menggigil lelah di tengah derasnya hujan, mungkin juga ia menelusup pada jiwa orang-orang berada yang diam-diam menyantuni si papa.
Barangkali ia menjelma rintik hujan yang membuat rumput dan bunga-bunga di halaman rumahmu berseri, lalu pujian meluncur dari mulutmu. Ia juga bisa menyamar bah kuat yang menghanyutkan segala yang dilaluinya, lalu engkau bergantung pada-Nya. Boleh jadi ia menjadi semut yang berbaris membawa remah-remah, lalu mengingatkanmu pada Sang Pengasih yang telah menyiapkan rizkinya bagi sekalian makhluk. Atau menjelma apa pun yang mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Kata Rumi, untuk bisa menangkap pesan-pesan Ilahi ini, kita perlu terus menerus mengasah kepekaan jiwa. Jika tidak, ia hanya akan lewat begitu saja seperti udara yang memenuhi bumi tapi kita tak pernah menyadarinya. Di akhir bait, Rumi juga berpesan, spirit embusan langit ini punya daya gerak surgawi yang akan menuntun kita pada visi keabadian, kemanusiaan, dan cinta kasih. Bukan hanya mendorong pada hal-hal yang tampak baik di permukaan.
Saya pribadi sangat menyukai puisi ini yang meskipun berulang-ulang dilafalkan, pesannya seperti terus menghembuskan nafas baru. Bait-bait Rumi ini menuntun kita untuk hidup berkesadran, sesuatu yang amat dicari hari ini.