Nabi pernah berpesan: Perempuan akan berjaya (mulia) di hadapan lelaki cerdas
Sebaliknya, lelaki pandir akan mendominasi perempuan dengan watak dogma
(Matsnawi Rumi Jilid 1, bait 2433 dan 2434)
Dalam bait di atas, Rumi menjelaskan sebuah potongan riwayat tentang perbedaan lelaki cerdas dan pandir dari bagaimana mereka memposisikan perempuan. Para lelaki keren akan memberikan kesempatan dan ruang kepada para perempuan di sekitarnya, terutama pasangan untuk terus bertumbuh, melakukan me time, dan mencerdaskan diri. Sebaliknya, lelaki terbelakang hanya melihat pasangannya sebagai barang kepemilikian, ia merasa berhak mengatur dan medominasinya. Hanya menyuguhkan riwayat tentang kewajiban dan larangan, sementara diam-diam ia memiliki perempuan simpanan.
Pendapat ini berangkat dari dua pendekatan dalam memandang perempuan:
Pertama, cara pandang material
Perempuan hanya diperlakukan sebagai kelas kedua baik dalam pengertian sebenarnya, maupun pengertian tersembunyi, yang seolah mendapat kebebasan semu, namun faktanya hanya dimanfaatkan untuk melariskan industri.
Kedua, cara pandang spiritual
Perempuan diperlakukan sebagai manifestasi Tuhan yang dapat terus tumbuh dan mengoptimalkan potensi dirinya.
Kira-kira, begitulah penjelasan yang disampaikan Profesor Esfandiar, salah seorang pakar Rumi Iran. Isi ruangan hening. Para perempuan tentu seperti mendapat angin keberpihakan. Entah kenapa ekspresi peserta lelaki pun seperti tak mengisyaratkan keberatan.
Bagi saya, pendapat Rumi ini cukup luar biasa. Di tengah situasi sosial abad pertengahan, Rumi seperti mampu meramal masa depan. Bahkan, aroma gerakan feminisme belum lagi merekah di dataran Eropa saat itu. “Ini belum seberapa, Anda akan sangat terkejut dengan bait yang akan saya bacakan selanjutnya”, suara berat Esfandiar seperti membaca keheranan saya.
Perempuan adalah pantulan cahaya Ilahi, bukan pelampiasan birahi
Tidak, konon dia bukan makluk biasa, dia bahkan mencipta
(Matsnawi Rumi, jilid 1, bait 2437)
Prof Esfandiar memberikan catatan tentang syair tersebut. Menurutnya, bait ini memang termasuk syair Rumi yang cukup rumit dan memerlukan ekstra kehati-hatian dalam menafsirkannya. Diksi-diksi yang digunakan Rumi terkesan hiperbolis, namun tentu Rumi tak bermaksud membuat sekutu Tuhan. Rumi hanya sedang melihat begitu pentingnya posisi perempuan dalam semesta, yaitu menjadi perantara kehadiran manusia-manusia baru.
Fitrah inilah yang melahirkan konsekuensi sifat kasih sayang (rahim). Konon inilah sifat persamaan yang dimiliki Tuhan dan perempuan. Dengan ini pula perempuan bisa sampai pada puncak makrifat. Senada dengan Rumi, Ibnu Arabi juga meyakini bahwa perempuan merupakan manisfestasi Tuhan yang paling sempurna di alam.
Keren banget.
Makasih banget, udah mampir.