Alhamdulillah…
Pagi ini mendapatkan kabar baik. Akhirnya, buku karya Rumi “Majalis Sab’ah” sudah dapat dipesan. Silahkan hubungi Turos Pustaka
Sebagian cerita di balik penerjemahan buku ini, pernah sedikit saya spill, tapi sebenarnya ada bagian penting yang belum saya share.
Saya mulai menerjemahkan kitab “Majalis” ini bersamaan dengan datangnya bulan Puasa. Malam-malam Ramadhan yang syahdu memberikan spirit tersendiri bagi saya. Hari-hari itu juga, saya tidak banyak keluar rumah dan menghindari pertemuan dan keramaian. Saya menepi sejenak, sebagai salah satu ikhtiar agar dapat mencerna dan menerjemahkan kitab “Majalis” secara lebih jernih.
Meskipun mungkin saya sudah tidak asing dengan dunia kepenulisan, namun ternyata menerjemahkan buku adalah suatu yang sama sekali berbeda dengan menulis buku. Apalagi, jika kitab yang kita terjemahkan itu adalah kitab klasik abad ke 13 yang sebagian besar diksinya tidak popular seperti bahasa Persia hari ini.
Buku ini juga jadi salah satu rujukan untuk matkul “Sastra Sufistik” dalam kajian Sastra Persia yang tentu secara susunan bahasanya memang bukan buku sembarangan. Belum lagi, saya tidak punya referensi penerjemahan versi lainnya dan buku ini baru pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ada satu titik ketika saya mulai lelah dan merasa tak mampu untuk melanjutkan, di saat itulah saya menemukan sepotong kutipan dalam kitab Majalis ini “Kapal yang berlayar di lautan adalah biasa namun kapal yang memuat ribuan lautan sungguh luar biasa” Kalimat ini sungguh dahsyat. Kapal seperti apa yang memuat seribu lautan? Kata Rumi, kapal itu adalah jiwa manusia yang mampu menampung ribuan potensi dan semangat.
Kalimat ini dan banyak pesan lainnya dalam kitab Majalis yang memberikan amunisi kepada saya untuk kembali bersemangat dan menyelesaikan proses penerjemahan. Semoga dengan membaca buku ini, teman-teman juga mendapat spirit yang sama, bahkan lebih dari saya.
Jauh setelah saya menyelesaikan kitab ini, saya menonton film Rumi dan Syams di sebuah bioskop. Mata saya tertuju pada scene awal yang menampilkan Rumi sedang duduk di atas podium dikelilingi ratusan murid lalu kalimat-kalimat hikmah meluncur dari bibirnya, hati saya langsung bergetar dan mengingat lagi lembaran-lembaran pesan dalam kitab Majalis Sab’ah.
Sekali lagi, dengan segala kerendahan hati, saya haturkan kitab warisan penting Islam ini. Tentu, saya menyadari ada banyak kekurangan di sana sini, namun begitulah proses penerjemahan karya sastra, tak jarang menyisakan celah ketika kita ingin mengawinkan diksi dan makna secara sempurna.
Akhirnya, saya ucapkan selamat membaca dan berselancar mereguk lautan hikmah dari Maulana Jalaluddin Rumi.