Dalam kajian tasawuf, nama Rumi adalah salah tokoh yang lekat dengan syair-syair sufistiknya. Banyak yang mengagumi keindahan syair-syair Rumi terutama karena kedalaman maknanya. Salah satu buku yang mengkaji syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi adalah buku karya Afifah Ahmad yang berjudul, Kitab Cinta dan Ayat-ayat Sufistik.
Buku terbitan Afkaruna.id ini berjumlah 223 halaman dengan menyajikan 6 tema di dalamnya. Penulis tidak banyak mengenal syair-syair Rumi kecuali sedikit saja karena begitu banyak dikutip terutama oleh agamawan. Maka buku ini menjadi semacam langkah awal untuk kelak mengenal Rumi dan karyanya lebih jauh.
Afifah Ahmad, seorang penulis perempuan yang telah lama menetap di Iran, menjadikan kitab Tafsir Matsnawi Ma’nawi karya Karim Zamani sebagai rujukan utama untuk mengkaji syair-syair Rumi. Meski begitu, syair-syair yang dikaji dalam buku ini tidak hanya syair yang berasal dari kitab Rumi yang berjudul Matsnawi Ma’nawi, tapi juga dari Divan e-Syams, dan Divan e-Kabir.
Ada enam bab yang dihadirkan oleh Afifah dalam buku ini. Keenam bab tersebut adalah Konsep Cinta dan Manusia; Perempuan dan Kesetaraan; Etika Sosial, Toleransi, dan Perdamaian; Beribadah dengan Bahagia; Rumi dan Karya-karya yang Membersamainya; Album Puisi Rumi.
Hampir setiap bab dalam buku ini menjadi favorit penulis. Penulis baru menyadari, kedalaman syair-syair Rumi ternyata menjadi perantara pembaca dan penikmatnya untuk memahami hakikat dari ajaran Tuhan. Syair-syairnya terasa begitu “dekat”. Bahkan Syekh Baha’i, seorang budayawan dari Persia pernah mengatakan bahwa syair-syair Rumi adalah Alquran dalam bahasa Persia Kuno. Kalimat ini tentu bukan bermaksud menyetarakan Alquran yang merupakan firman Allah dengan karya manusia yang merupakan makhluk, melainkan untuk menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Alquran terhadap karya-karya Rumi.
Menurut penulis, bagian yang menarik dari buku ini adalah bab yang berjudul “Perempuan dan Kesetaraan”. Meski tak banyak yang dibahas dalam bab ini, tapi Afifah berusaha untuk menggali tentang bagaimana pandangan ulama sufi mengenai posisi perempuan saat itu. Dibuka dengan pembahasan mengenai relasi perempuan dalam lingkaran keluarga Rumi yang kemudian dilanjut dengan pandangan Rumi mengenai perempuan dalam syair-syairnya.
Salah satu syair favorit saya adalah bagaimana Rumi mengumpamakan perempuan seperti “pantulan cahaya Ilahi”. Begini terjemahannya,
Perempuan adalah pantulan cahaya Ilahi, bukan hanya yang dicintai
Tidak, konon dia bukan makhluk biasa, dia bahkan pencipta
(Rumi, Matsnawi, jilid 1, bait 2437)
Syair ini menjadi bukti tentang penghormatan tertinggi yang dilakukan oleh Rumi terhadap perempuan. Ada lagi syair lain yang menurut penulis merupakan bukti bahwa Rumi memposisikan perempuan sebagai mitra yang setara meski ia saat itu hidup di abad 13 yang mana budaya patriarki saat itu masih kuat.
Syair lain yang menjadi bukti bahwa Rumi memposisikan perempuan sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki adalah syair berikut (dengan terjemahannya),
Nabi pernah berpesan: Perempuan akan berjaya (mulia) di hadapab laki-laki cerdas
Sebaliknya, lelaki pandir akan mendominasi perempuan dengan watak dogma
(Rumi, Matsnawi, Jilid 1, bait 2433 dan 2443)
Ada bagian lain yang membuat penulis takjub dengan syair Rumi dan membenarkan pendapat Syekh Baha’i. Bab itu berjudul “ Rahasia-rahasia dalam Gerakan Shalat’. Rumi menggambarkan shalat sebagai “safar rohani”. Dalam syairnya Rumi menulis,
Wahai Bilal yang bersuara merdu dan nyarik
Pergilah dan kumandangkan seruan safar rohani
(Rumi, Matsnawi, jilid 5 bait 225)
Rumi menganggap bahwa ritual shalat dan puasa tetaplah penting sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Tuhan.
Seandainya hanya ada pemahaman batiniah
Manusia di dunia ini tidak akan berlelah
Jika Cinta kepada Tuhan hanya berupa kekaguman
Tak akan berarti ritual puasa dan sembahyang
(Rumi, Matsnawi, jilid 1, bait 2624-2625)
Rumi mengumpamakan, gerakan salam dalam shalat adalah bentuk doa kepada Tuhan agar diberi syafaat Nabi dan orang-orang sholeh.
Ketika menengok ke kanan dan mengucap salam
Ia mencari sosok para Nabi dan orang-orang mulia
Lalu bermunajat, “Berikanlah syafaatmu, duhai kekasih Allah”
Pada hamba yang berlumur dosa dan kekhilafan
(Rumi, Matsnawi, jilid 3 bait 2165-2166)
Dalam pandangan penulis, buku ini cukup ringan untuk dibaca dan ringkas. Meski bagi penulis, ada banyak pengulangan kalimat dalam tiap babnya yang terkesan sedikit “memaksa” dalam menafsirkan syair-syair Rumi. Tapi terlepas dari itu, buku Kitab Cinta dan Ayat-ayat Sufistik ini layak untuk dinobatkan sebagai buku terbaik yang penulis baca sepanjang 2022.
Artikel ini ditulis oleh: Zahratun Nafisah dan pernah dimuat di sini