Bait-bait syair cinta Jalaluddin Rumi (Rumi) kini sepertinya tidak lagi bagai kisah seruling yang terpisah. Ia yang pada awalnya ditulis lewat bahasa Persia sekarang sudah bisa dinikmati lewat karya Afifah Ahmad berjudul Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik. Arkian, buku ini telah menghadirkan pengalaman baru bagi siapapun yang ingin mengaji, mengkaji, atau sekadar menikmati keindahan bahasa atau bahasa keindahan dari Rumi.
Lebih dari itu, Afifah Ahmad juga menyajikan syair-syair Rumi berkelindan dengan berbagai persoalan hari ini dengan bahasa yang renyah dan lugas. Tidak berlebihan jika kemudian banyak tokoh yang memberikan apresiasi luar biasa terhadap buku ini, seperti dari KH. Ulil Absar Abdalla, KH. Husien Muhammad, hingga Dr. Etin Anwar.
Kebanyakan apresiasi mereka pada kemampuan Afifah dalam berbahasa Persia yang baik dan akses kebanyakan pemikiran sang sufi dalam bahasa tersebut. Ini adalah sesuatu yang jarang dimiliki oleh penulis lain sehingga membantu menghadirkan pemikiran Rumi lebih namun tetap renyah dan bisa dinikmati berbagai kalangan.
Nama Afifah Ahmad bukanlah nama baru dalam dunia tulis-menulis. Afifah, begitu sapaan ibu dari satu orang anak ini, sudah lama malang-melintang di dunia literasi. Bahkan selain menulis buku, dia juga berprofesi sebagai penerjemah. Di antara buku yang pernah dia tulis adalah The Road to Persia, yang berisikan catatan perjalanannya ke berbagai tempat bersejarah, situs budaya dan mausoleum para tokoh, penyair hingga sufi yang bertebaran di Iran.
Selain penulis, Afifah juga dikenal sebagai pendiri ngajirumi.com. Sebuah ikhtiar dari Afifah dan kawan-kawan untuk menggali pemikiran dan menumpulkan berbagai literatur klasik maupun populer dari atau tentang sosok sufi besar, Jalaluddin Rumi. Sepertinya buku Ngaji Rumi adalah salah satu bagian dari usaha tersebut.
Ngaji Bait-Bait Syair Jalaluddin Rumi di Era Modern
Pada awal saya membaca buku Ngaji Rumi langsung tertarik pada bagian “Etika Sosial, Toleransi, dan Perdamaian”. Dari bagian ini saya terinspirasi membuat judul di atas ketika membaca bagian tersebut. Sebagaimana saya jelaskan di awal tulisan ini, saya sangat mengapresiasi atas kecakapan Afifah dalam menghubungkan pemikiran Rumi dengan berbagai isu terkini. Sekarang, mari kita ulik bagian ketiga dari buku yang diterbitkan oleh Afkaruna.id tersebut.
Dalam sembilan esai yang ditulis Afifah dalam bagian tiga di buku Ngaji Rumi, kita dapat menjumpai berbagai kata kunci yang terkait dengan kehidupan publik hari ini, dari toleransi, perdamaian, ketergesaan, narsistik, Black Swan¸ komunikasi, lingkungan dan empati. Afifah sepertinya sedang menunjukan kepada kita selaku pembaca bahwa pemikiran seorang Rumi sangat kontekstual.
Lebih dari itu, kontekstualisasi pemikiran Rumi yang dihadirkan oleh Afifah tidak sekadar cucokologi belaka. Dia menuliskan pemikiran Rumi yang tersebar di berbagai karya yang sudah berumur ratusan tahun tersebut menjadi segar dan kontekstual hingga hari ini.
Dari sekian tulisan dalam bagian tersebut, saya sangat tertarik dengan sebuah esai berjudul “Narsistik dan Runtuhnya Etika Sosial”. Di sana Afifah mengawalinya dengan sebuah cerita yang tercantum dalam kitab Matsnawi jilid ketiga di bait 721-727, yakni kisah seekor serigala yang bulunya tercampur dengan cat lalu mendaku dirinya sebagai burung merak dari surga.
Menurut Afifah, ilustrasi dari Rumi tersebut merupakan gambaran serupa terkait gejala narsistik di masyarakat modern, terutama pengguna media sosial. Dia kemudian mengulas lema narsistik, baik individu maupun kolektif, yang dia sebut sama-sama memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, terutama terkikisnya rasa empati.
Sebagai penutup ulasannya, Afifah kemudian mengutip syair dalam Matsnawi, jilid 4, bait 2744: “Siapa pun yang terlalu dipuja oleh pengikutnya, ketahuilah sesungguhnya jiwa mereka sedang teracuni” sebagai analogi siapa saja yang terjangkit gejala narsistik dengan jiwa yang telah terkena racun. Di sini dia seakan memberikan alarm kepada kita lewat ilustrasi indah dari Rumi, bahwa kadang pujian bisa menjadi racun bagi kehidupan kita.
Sebagaimana tulisan lain di buku Ngaji Rumi, kedalaman pemahaman dan penguasaan Afifah terhadap karya dan pemikiran Rumi sangat terlihat seperti dalam esai di atas. Tidak saja melakukan kontekstualisasi bait-bait syair sufistik dengan mulus, bahkan Afifah juga serasa menghadirkan sosok Rumi yang membimbing perjalanan spiritual kita di tengah kehidupan modern ini.
Sekitar Buku Ngaji Rumi Beraroma Islam Tradisionalis
Ada rasa penasaran yang berkecamuk dalam benak saya ketika mendapatkan paket kiriman buku Ngaji Rumi. Pertanyaan dalam benak saya terkait syair Rumi dalam buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Persia. Bagaimana kesan ketika membaca buku beraroma sufistik yang kaya dengan literatur dan teks berbahasa Persia?
Sebab sepanjang pembacaan saya atas terjemahan karya Rumi atau terkait dengan pemikirannya lainnya belum ada hingga sekarang yang memuat bait syair berbahasa Parsi di dalamnya selain karya Afifah. Kemahiran dalam berbahasa Parsi ditambah dengan keterlibatan Afifah dalam berbagai pengajian dan pengkajian karya dan pemikiran Rumi di tanah Persia, merupakan elemen penting melahirkan kehadiran teks berbahasa parsi dan kedalaman pembacaan yang dapat dibaca dalam buku Ngaji Rumi ini.
Sayangnya setelah saya membaca buku tersebut hingga selesai, usaha Afifah menghadirkan bait-bait syair Rumi dalam aksara Parsi bagai pisau bermata dua. Di satu sisi usaha Afifah tersebut dapat menjadi poin keunggulan dibanding karya-karya lain terkait Rumi, karena akan memberikan pengalaman baru sekaligus mendekatkan pembaca dengan atmosfer sufistik yang tersaji dalam kitab-kitab, seperti Matsnawi atau Divan-e Kabir.
Sebaliknya, usaha Afifah tersebut mungkin sekali dapat menjadi penganggu dalam ritme membaca. Sebab ketika tidak semua pembaca dan penikmat Rumi memiliki atensi atas teks asli berbahasa Parsi, maka kehadiran naskah tersebut berpotensi menjadi kelewahan atau kemubaziran sehingga dapat menganggu para pembaca dalam menikmati buku ini.
Namun, Afifah mampu menghadirkan keseimbangan di mana syair-syair Rumi tak sepenuhnya dituliskan dalam bahasa Persia. Faktor ini sedikit banyak menolong pembaca yang mungkin merasa terganggu dengan teks dari bahasa yang asing bagi mereka.
Adapun faktor kedalaman pembacaan terhadap karya dan pemikiran Rumi yang dimiliki Afifah sudah tidak bisa dibantah lagi. Oleh sebab itu, karya ini justru semakin nyaman dinikmati dan serasa tidak ingin berhenti dibaca hingga selesai. Kita tidak saja diajak untuk menyelam namun juga berselancar mengarungi ombak-ombak dalam lautan pemikiran Rumi yang begitu luas.
Menariknya, Afifah dalam buku ini menampilkan buku ini dalam kultur Islam tradisionalis yang cukup kental. Dari sini saya dapat memahami alasan Afifah menampilkan teks berbahasa Parsi dalam bukunya. Sebab, menghadirkan teks dari manuskrip adalah bagian dari kultur Islam tradisionalis yang mendarahdaging dalam diri Afifah.
Kemudian juga ditandai dengan pemakaian lema Ngaji yang disandingkan oleh Afifah dengan diksi Rumi di judul. Bagi siapapun yang pernah mengecap pendidikan pesantren tradisional, maka membaca buku ini terasa akrab, namun bukan berarti tidak nyaman, malah mungkin memberikan pengalaman baru jika tidak terjebak pada gangguan yang telah saya jelaskan di atas. (Supriansyah)
Pernah dimuat di sini: https://iqra.id/rumi-persia-dan-tradisi-ngaji-235669/
Nice post. I was checking constantly this blog and I am impressed!
Very helpful information specifically the last part
🙂 I care for such info a lot. I was looking for this particular info
for a long time. Thank you and best of luck.
Thank a lot for reading my article and I hope you continue your loving for Rumi.