
هر دَمی فکری چو مهمانِ عزیز / آید اندر سینه ات هر روز نیز
فکر را ای جان به جای شخص دان / زآنکه شخص از فکر دارد قدر و جان
فکرِ غم گر راهِ شادی می زند / کارسازی هایِ شادی می کند
خانه می روید به تُندی او ز غیر / تا درآید شادیِ تو ز اصلِ خیر
می فشاند برگِ زرد از شاخِ دل / تا بروید برگِ سبز مُتّصِل
می کنَد بیخِ سُرورِ کهنه را / تا خرامَد ذوقِ نو از ماورا
غم کنَد بیخِ کژِ پوسیده را / تا نماید بیخِ رُو پوشیده را
غم ز دل هر چه بریزد یا بَرَد / در عِوَض حقّا که بهتر آورد
خاصه آن را که یقینش باشد این / که بُوَد غم بندۀ اهلِ یقین
گر تُرُش رُویی نیارَد ابر و برق / رز بسوزد از تبسّم هایِ شرق
سعد و نحس اندر دلت مهمان شود / چون ستاره خانه خانه می رود
آن زمان که او مُقیمِ بُرجِ توست / باش همچون طالعش شیرین و چُست
تا که با مَه چون شود او مُتّصل / شُکر گوید از تو با سلطانِ دل
هفت سال ایّوب با صبر و رضا / در بلا خوش بود با ضَیفِ خد
تا چو وا گردد بلایِ سخت رُو / پیشِ حق گوید به صد گون شُکرِ او
Setiap saat, pikiran datang bak tamu mulia,
setiap hari, hadir menari dalam dadamu.
Wahai jiwa, pandanglah pikiran sebagai sosok sejati,
sebab nilai manusia dari pikiran yang ia miliki.
Jika pikiran duka seakan menghalang kegembiraan,
justru ia menyiapkan jalan bagi hadirnya kebahagiaan.
Ia tergesa membersihkan rumah hatimu dari yang lain,
agar kebahagiaan sejati dapat masuk dari sumber yang benar.
Ia gugurkan daun-daun kuning dari dahan hatimu,
agar senantiasa tumbuh lestari dedaunan hijau.
Ia cabut akar kegembiraan lama yang telah rapuh,
agar sukacita baru datang menari dari alam gaib.
Ia singkirkan akar yang busuk dan bengkok,
agar tampak akar yang murni dan tersembunyi.
Apa pun yang duka renggut dari hatimu,
sebagai ganti, sungguh, Tuhan berikan yang lebih mulia.
Terutama bagi dia yang percaya dan yakin,
duka hanyalah hamba bagi yang teguh mengimani.
Jika awan dan kilat tak menampakkan wajah muram,
kebun anggur akan terbakar oleh senyum matahari timur.
Bahagia dan nestapa pun jadi tamu dalam hatimu,
berganti laksana bintang, berpindah dari rumah ke rumah.
Maka ketika salah satunya berdiam dalam rasi jiwamu,
sambutlah ia dengan hangat dan penuh kesiapan.
Sampai saat ia bersatu dengan cahaya bulan,
Ia akan memuji hatimu di hadapan Raja Sejati.
Ingatlah Ayyub, tujuh tahun penuh sabar dan ridha,
Dalam derita pun ia bahagia bersama tamu Ilahi.
Maka ketika derita yang berat akhirnya sirna,
Di hadapan Tuhan, engkau akan mengucap syukur dalam seratus cara
(Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 3676-3690)
Puisi Rumi ini, jika dibaca dengan kacamata tasawuf dan psikologi modern, menghadirkan jembatan antara tradisi spiritual klasik dan ilmu psikologi kontemporer. Ia mengajarkan bahwa setiap pikiran adalah tamu yang membawa pelajaran, bahwa kesedihan adalah media pertumbuhan, bahwa suka dan duka hanyalah bintang-bintang yang beredar, dan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari kesadaran transenden.
***
Ada sebuah rumah dalam diri manusia, rumah itu bernama hati. Setiap hari, tamu-tamu datang dan pergi: ada tamu bahagia, ada pula tamu sedih. Ada yang datang membawa cahaya, ada pula yang membawa mendung. Rumi menyebut mereka semua sebagai tamu mulia. Jangan buru-buru menutup pintu, sebab tiap tamu membawa pesan yang tak boleh diabaikan. Seperti sahabat jauh yang membawa kabar, begitulah pikiran dan perasaan yang hadir dalam dada.
Manusia sering lupa bahwa dirinya dinilai bukan dari rupa atau tubuh, melainkan dari apa yang ia pikirkan. Pikiran adalah inti, tubuh hanyalah wadah. Seorang yang hatinya penuh ingatan baik akan memancarkan cahaya kebaikan, sedangkan hati yang penuh kebencian akan meredup. Dalam dunia modern, para psikolog pun mengatakan hal serupa: kualitas hidup kita ditentukan oleh cara kita berpikir. Pikiran positif menumbuhkan daya, sementara pikiran negatif mengekang. Rumi mengajarkan, jangan menolak pikiran yang datang, bahkan pikiran yang pahit, sebab ia pun punya tugasnya sendiri.
Bayangkan kesedihan yang datang mengetuk pintu hatimu. Pada mulanya, ia tampak seperti pencuri: ia mencabut bunga, menggugurkan daun, merampas keceriaan. Namun sesungguhnya, ia adalah tukang kebun yang bijak. Ia menyingkirkan daun kuning agar daun hijau bisa tumbuh. Ia mencabut akar busuk agar akar sejati menampakkan diri. Ia mengosongkan ruang dalam hati, lalu mempersilakan kebahagiaan sejati masuk dari pintu yang lebih dalam. Rumi berkata, apa pun yang diambil duka dari hatimu, pasti Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Betapa indah pandangan ini: duka bukan musuh, melainkan pekerja setia yang sedang menyiapkan rumah hati untuk menyambut cahaya baru.
Kisah ini tidak hanya hidup dalam dunia para sufi. Psikologi modern pun menemukan kebenaran yang sama. Banyak orang yang melewati masa sulit justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijaksana, lebih berempati, lebih bersyukur. Riset menyebutnya post-traumatic growth. Bagi jiwa-jiwa transpersonal, kesedihan adalah pintu menuju kesadaran yang lebih tinggi, sebuah proses kematian ego agar lahir kembali sebagai diri yang lebih luas dan lebih lapang. Rumi menggambarkannya dengan indah: kesedihan menggali akar lama agar kegembiraan baru bisa menari dari balik tabir.
Namun, tidak semua orang bisa melihatnya demikian. Hanya mereka yang beriman, kata Rumi, yang memahami bahwa kesedihan hanyalah hamba. Ia bukan tuan yang menindas, melainkan pelayan yang diutus untuk menguatkan. Orang beriman tahu bahwa setiap peristiwa adalah takdir Allah, dan di balik derita ada rahasia. Nabi pernah berkata, “Menakjubkan urusan orang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur; jika ditimpa musibah, ia bersabar.” Kesabaran itulah yang membuat kesedihan tidak lagi menjadi racun, melainkan obat yang membersihkan jiwa.
Perjalanan hidup memang selalu diwarnai dua tamu: suka dan duka. Mereka datang silih berganti seperti bintang-bintang yang berpindah dari satu rasi ke rasi lain. Kita tidak bisa memilih hanya satu dan menolak yang lain. Tugas kita hanyalah menyambut keduanya dengan adab. Jika gembira datang, terimalah dengan syukur. Jika duka datang, sambutlah dengan kelembutan hati. Karena pada akhirnya, keduanya akan pergi setelah menyampaikan pesan. Rumi mengingatkan, ketika sebuah bintang singgah dalam rasi jiwamu, sambutlah dengan hangat dan penuh kesiapan, sebab ia hanya lewat untuk memperkenalkanmu pada cahaya yang lebih tinggi.
Lihatlah teladan Nabi Ayyub. Bertahun-tahun ia menderita, tubuhnya lemah, hartanya hilang, keluarganya pergi. Namun ia tidak pernah menutup pintu bagi tamu bernama kesedihan. Ia menerima duka sebagai undangan dari Allah, dan justru menemukan kebahagiaan dalam ridha. Inilah rahasia besar: penderitaan bukan sekadar ujian, melainkan jalan pertemuan. Dalam psikologi positif, inilah makna tertinggi: menemukan arti di balik derita. Dalam spiritualitas transpersonal, inilah titik larutnya ego dalam samudra Ilahi, ketika manusia tak lagi memberontak, melainkan menyerah dalam cinta.
Maka, ketika kita membaca puisi Rumi ini, kita seakan diajak masuk ke rumah hati kita sendiri. Kita melihat tamu-tamu datang silih berganti: ada yang riang, ada yang getir. Dan kita belajar, alih-alih menutup pintu, kita bisa menyambut mereka semua dengan senyum. Sebab setiap tamu membawa hadiah: entah itu kebahagiaan yang menghangatkan, atau kesedihan yang membersihkan. Pada akhirnya, semua tamu itu adalah utusan Tuhan, yang datang agar hati kita lebih siap, lebih lapang, dan lebih dekat dengan Sang Pemilik rumah.